Wednesday, August 2, 2017

Pentingnya Literasi Informasi Bagi Pendidik dan Peserta Didik

No comments     
categories: 

PENTINGNYALITERASI INFORMASI BAGI PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK

 (THE IMPORTANCE OF INFORMATION LITERACY FOR EDUCATORS AND LEARNERS)


Taufik Hidayat Eko Yunianto
Universitas PGRI Madiun


ABSTRAK

Literasi secara umum didefinisikan sebagai kemampuan seseorang dalam membaca, menulis, dan menggunakan bahasa lisan. Sebagian besar orang membaca dan menulis hanya dijadikan kemampuan pelengkap yang sewaktu-waktu dapat dibutuhkan, atau bahkan kita sering menerima informasi dari membaca secara mentah tanpa memperhatikan validitasnya. Padahal kita tahu perkembangan informasi dan sumber informasi semakin pesat yang didalamnya tidak hanya terdiri dari hal-hal positif saja tetapi juga banyak hal negatif bahkan hoax. Maka dari itu literasi informasi sangat dibutuhkan setiap individu untuk memfilterisasi informasi yang ada. Literasi informasi merupakan kemampuan seseorang untuk menyadari kapan informasi tersebut dibutuhkan, kemampuan mencari, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan informasi secara efektif. Bagi seorang pendidik, literasi informasi merupakan sesuatu yang pokok yang harus dikuasai dan dimiliki agar kreatifitas dalam mengajar selalu berkembang sehingga dapat menciptakan inovasi-inovasi dalam pembelajaran serta mampu menjadi mediator informasi-informasi yang aktual. Literasi informasi juga harus dimiliki oleh peserta didik agar mereka mampu belajar untuk berpikir kritis dan kreatif.

Kata Kunci: literasi, literasi informasi, pendidik, peserta didik

Pentingnya Literasi Informasi Bagi Pendidik dan Peserta Didik
Pentingnya Literasi Informasi Bagi Pendidik dan Peserta Didik
PENDAHULUAN
Perkembangan informasi dan sumber informasi di era globalisasi ini begitu pesat. Ledakan informasi yang begitu besar ini tentu memiliki dampak yang begitu beragam, baik dampak yang positif maupun negatif bagi para pencari dan pengguna informasi. Salah satu dampak positifnya adalah terbukanya berbagai macam informasi sehingga pencari informasi memiliki kesempatan yang besar untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya informasi yang tersedia. Namun dibalik itu juga terdapat dampak negatifnya, salah satunya karena banyaknya informasi yang tersedia, pencari informasi sangat rawan terjerembab dalam informasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau bahkan memperoleh informasi yang salah. Maka diri itu, kita dituntut untuk memiliki keterampilan atau skill untuk memenuhi kebutuhan informasi yang sering disebut dengan istilah literasi informasi.
Lasa HS (2009: 190) mendefinisikan bahwa literasi informasi disebut juga melek informasi. Seseorang yang melek informasi adalah yang bisa mengakses informasi secara efektif  dan efisien, mampu mengevaluasi informasi secara kritis dan menggunakan informasi secara akurat dan kreatif (American Association of School Librarians, 1998). Pendidikan memiliki peranan penting dalam rangka melakukan filterisasi terhadap informasi yang ada. Selain itu, melalui pendidikan kita juga akan belajar untuk mampu mengelola informasi yang ada secara tepat guna. Kita dituntut agar mampu memanfaatkan informasi dengan benar.
Bagi para pendidik dan peserta didik tentunya literasi informasi merupakan salah satu kebutuhan pokok. Pendidik membutuhkan literasi informasi demi kelancaran kegiatan pembelajarannya. Tidak sebatas itu saja, pendidik yang profesional adalah pendidik yang memiliki dan mampu menguasai berbagai informasi yang ada. Seorang pendidik yang kaya akan informasi tentu saja akan semakin kreatif dan inovatif. Sedangkan bagi peserta didik, kebutuhan informasi merupakan sarana mereka untuk belajar dan menggali pengetahuan-pengetahuan baru. Dengan bantuan para pendidik, peserta didik akan mendapatkan informasi yang bermanfaat bagi mereka. Maka dengan kata lain agar peserta didik mampu memiliki dan menguasai literasi maka dibutuhkan para pendidik yang melek informasi pula.

 

LITERASI INFORMASI

Literasi informasi merupakan keterampilan penting yang harus dimiliki setiap individu. Dengan memiliki literasi informasi setiap orang dapat mengetahui dan menggunakan informasi yang mereka butuhkan dengan relevan. Zurkowski (Farida dkk., 2006: 23) merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah literasi informasi (Information Literacy). Dia menggambarkan orang-orang yang pada waktu itu (sekitar 30 tahun yang lalu) melek informasi sebagai orang yang terdidik di dalam pengaplikasian informasi terhadap pekerjaan mereka. Mereka menggunakan sarana informasi sebagai alat pemecahan masalah.
Lasa HS (2009: 190) juga mendefinisikan bahwa literasi informasi disebut sebagai kemampuan melek informasi yang dimiliki seseorang. Seseorang yang melek informasi adalah yang bisa mengakses informasi secara efisien dan efektif, mampu mengevaluasi informasi secara kritis dan menggunakan informasi secara akurat dan kreatif (American Association of School Librarians, 1998). Literasi informasi merupakan kesadaran akan kebutuhan informasi seseorang, mengidentifikasi, pengaksesan secara efektif efisien, mengevaluasi, dan menggabungkan informasi secara legal ke dalam pengetahuan dan mengkomunikasikan informasi tersebut. Amstrong & Webber dalam Khoirul Maslahah  (2013) menyatakan bahwa:
Information literacy is knowing when and why you need information, when to find and how to evaluate, use and communicate it in an ethical manner.
Hal ini juga senada dengan definisi yang disampaikan oleh Hancock yang dikutip oleh Andayani (2008: 3) bahwa literasi informasi dapat didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk mengenali kebutuhan informasi, mengidentifikasi dan mencari sumber-sumber informasi yang tepat, mengetahui cara memperoleh informasi yang terkandung dalam sumber yang ditemukan, mengevaluasi kualitas informasi yang diperoleh, mengorganisasikan informasi, dan menggunakan informasi yang telah diperoleh secara efektif.
Berdasarkan pengertian literasi informasi yang diuraikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa definisi dari literasi informasi adalah serangkaian kemampuan yang dibutuhkan seseorang untuk menyadari kapan informasi itu dibutuhkan, memiliki kemampuan untuk mencari, menganalisis, mengevaluasi, serta mengkomunikasikan informasi secara efektif. Literasi informasi juga merupakan kunci utama dari pembelajaran sepanjang hayat yang akan menjadi bekal seseorang untuk menemukan informasi sesuai dengan kebutuhannya.

 

PENTINGNYA LITERASI INFORMASI BAGI PENDIDIK

Literasi informasi sesungguhnya memudahkan seseorang dalam melakukan berbagai hal yang berhubungan dengan informasi. Informasi merupakan bagian penting dari pendidikan. Pendidikan harus dapat memberdayakan semua orang untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan kebutuhannya. Apalagi bagi seorang pendidik, informasi merupakan suatu kebutuhan penting agar pendidik tersebut mampu menyampaikan pembelajaran dengan baik. Dimulai dari pemilihan sumber materi yang akan digunakan, proses pembelajaran, hingga mengevaluasi pembelajaran membutuhkan literasi informasi. Prefisionalisme seorang pendidik bergantung pada seberapa tingkat literasi informasi yang dimiliki oleh pendidik tersebut. Kaitannya dengan dunia pendidikan, literasi informasi memiliki banyak sekali manfaat. Adapun manfaat dari literasi informasi menurut Adam (2008: 1) antara lain membantu mengambil keputusan, menjadi manusia pembelajar, dan menciptakan pengetahuan baru.
Literasi informasi berperan dalam membantu memecahkan suatu persoalan. Dengan memiliki informasi yang cukup, seorang pendidik dapat mengambil keputusan dengan mudah dalam memecahkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pembelajaran. Literasi informasi akan membantu pendidik dalam menentukan strategi, model, metode, atau bahkan dalam pemilihan media pembelajaran yang tepat untuk diterapkan di suatu kelas. Semakin banyak informasi yang dimiliki oleh seorang pendidik maka akan semakin kreatif dan inovatis pendidik tersebut dalam mengelola kelas. Literasi informasi juga berperan penting dalam meningkatkan kemampuan seseorang menjadi manusia pembelajar. Dengan memiliki keterampilan dalam mencari, menemukan, mengevaluasi dan menggunakan informasi, seorang pendidik dapat melakukan pembelajaran secara profesional. Selain itu literasi informasi juga memiliki peranan dalam menciptakan pengetahuan baru. Dengan memiliki literasi informasi, seorang pendidik akan mampu memilih informasi mana yang benar dan mana yang salah sehingga tidak mudah percaya dengan informasi yang diperoleh. Pendidik akan mampu memfilterisasi informasi mana yang sekiranya tepat guna dan bermanfaat bagi peserta didiknya.
Kemampuan seorang pendidik sangat diperlukan dalam memilih sumber belajar bagi peserta didiknya. Tidak hanya monoton menggunakan salah satu referensi saja, namun harus kaya akan sumber. Begitu pula dengan sumber informasi yang harus digunakan oleh pendidik. Informasi dapat ditampilkan dalam beberapa format dan dapat dimasukkan ke dalam sumber yang terdokumentasi (buku, jurnal, laporan, tesis, grafik, lukisan, multimedia, rekaman suara). Semua itu harus benar-benar dapat dimanfaatkan oleh pendidik dalam kegiatan pembelajaran. Ada beberapa literasi yang dapat digunakan oleh para pendidik demi mendukung literasi informasi antara lain literasi perpustakaan (library literacy), literasi visual (visual literacy), literasi media (media literacy), literasi komputer (computer literacy), dan literasi jaringan (network literacy) (Bhandari,  2003: 2).
Literasi perpustakaan membantu seseorang menjadi pengguna mandiri perpustakaan dan mampu untuk menetapkan, menempatkan, mengambil dan menemukan kembali informasi dari perpustakaan. Seorang pendidik harus memanfaatkan perpustakan sebagai sarana literasi demi menambah literasi informasinya. Setiap sekolah pasti memiliki perpustakaan, namun sangat disayangkan jika perpustakaan hanya dijadikan pelengkap sarana sekolah saja tanpa benar-benar dimanfaatkan oleh pendidik untuk kegiatan pembelajaran. Pendidik harus mengajarkan dan memberi contoh kepada peserta didiknya dengan menunjukkan betapa besar dan banyaknya informasi dan pengetahuan yang dapat diperoleh di perpustakaan.
Literasi visual (visual literacy) dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memahami dan menggunakan gambar, termasuk kemampuan untuk berfikir, belajar dan menjelaskan istilah yang digambarkan. Literasi visual terdiri merupakan pengadaan dan pembangunan ilmu pengetahuan secara mendalam yang dilanjutkan dengan berfikir secara visual, yaitu kemampuan untuk menyusun gambaran pikiran dalam bentuk, garis dan warna, serta penciptaan tampilan visual yaitu kemampuan untuk menggunakan simbol visual untuk menampilkan ide dan memberitahukan artinya. Sedangkan literasi media (media literacy) didefiniskan sebagai kemampuan untuk memperoleh, menganalisis dan menghasilkan informasi untuk hasil yang spesifik. Literasi media dibutuhkan dalam mengevaluasi informasi, seseorang atau dalam hal ini pendidik harus mampu berfikir kritis dan mampu menyaring informasi yang diperolehnya agar nantinya informasi tersebut dapat disalurkan pada peserta didik. Seseorang dikatakan literat terhadap media apabila peduli pada interaksi sehari-hari dengan media dan pengaruhnya terhadap gaya hidup, menafsirkan dengan efektif pesan media untuk menyampaikannya sesuai dengan pengertian sebenarnya, menyampaikan dengan baik tentang berita yang ditutupi media, sensitif terhadap perkembangan isi dari media yang berarti pembelajaran mengenai budayanya. Literasi media mendukung literasi informasi karena infomasi berasal dari berbagai media maka dibutuhkan kemampuan untuk menganalisis informasi dengan kritis agar tidak termanipulasi oleh informasi yang diperoleh. Dengan literasi visual dan literasi media guru dapat membuat berbagai macam media pembelajaran yang inovatif dan pastinya tidak monoton dan membosankan. Selain itu model pembelajaran yang dapat digunakan juga akan lebih kreatif lagi dengan memanfaatkan kedua literasi tersebut.
Sedangkan untuk mengkomunikasikan ataupun menciptakan karya baru dari informasi yang diperoleh adalah dengan literasi komputer dan literasi jaringan. Literasi Komputer (computer literacy) secara umum dapat diartikan sebagai perangkat komputer yang berfungsi untuk menciptakan dan memanipulasi dokumen, serta di dalamnya akrab dengan adanya email dan internet. Literasi Jaringan (network literacy) adalah kemampuan untuk menentukan lokasi akses dan menggunakan informasi dalam lingkungan jaringan pada tingkat nasional, regional dan internasional. Beberapa komponen di atas merupakan bentuk-bentuk literasi yang mendukung tercapainya tujuan dari literasi informasi itu sendiri.

PENTINGNYA LITERASI INFORMASI BAGI PESERTA DIDIK

Literasi informasi tidak hanya sekedar mengajarkan masyarakat bagaimana cara mencari informasi, bukan pula mengajarkan bagaimana seseorang dapat menggunakan teknologi informasi dengan cepat. Namun dengan progra literasi informasi inilah setiap individu diharapkan dapat menerima dan mensiasati perubahan-perubahan dalam masyarakat global secara kritis, bijak, positif dan mampu memanfaatkan informasi yang dibutuhkannya menjadi pengetahuan baru dan menambah khasanah pengetahuan baik bagi dirinya maupun orang lain. Pendidikan memiliki peranan penting dalam menciptakan generasi-generasi yang melek akan informasi. Kuhlthau (Farida dkk, 2006:3) menjelaskan bahwa anak-anak kita saat ini hidup, tumbuh, dan belajar di dalam lingkungan yang kaya akan informasi. Lingkungan pembelajaran ini menuntut semua individu baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk berhubungan dengan sejumlah besar informasi. Informasi-informasi ini yang nantinya dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menilai dan mengambil keputusan suatu permasalahan yang ada secara kritis. Para peserta didik akan memperoleh manfaat atau keuntungan dari pengaksesan terhadap sejumlah besar informasi dari berbagai sumber yang tersebar luas di seluruh penjuru dunia.
  Literasi informasi sangat diperlukan agar dapat hidup sukses dan berhasil dalam era masyarakat informasi dan dalam penerapan kurikulum di dunia pendidikan. Seseorang yang memiliki literasi informasi akan berusaha terus belajar untuk memperoleh informasi dan menciptakan pengetahuan baru. Menurut Gunawan (2008, 9) ada 7 (tujuh) langkah dalam memperoleh kemampuan literasi informasi yaitu, 1) merumuskan masalah; 2) mengidentifikasi sumber informasi; 3) mengakses informasi; 4) menggunakan informasi; 5) menciptakan karya; 6) mengevaluasi; 7) menarik pelajaran. Apabila peserta didik dalam pembelajaran selalu berlatih tentang hal-hal di atas maka mereka akan dapat menguasai literasi informasi dengan baik. Peran pendidik juga sangat dibutuhkan dalam memotivasi peserta didik agar mereka mau belajar menguasai kemampuan tersebut.
Manfaat yang diperoleh apabila peserta didik mampu menguasai literasi informasi ini nantinya dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari baik dilingkungan tempat mereka belajar atau di lingkungan sosial lainnya. Setidaknya mereka tahu benar bagaimana memfilterisasi informasi yang ada sehingga mampu membedakan mana informasi yang penting dan tidak penting. Prasetiawan (2011: 3) menyatakan bahwa manfaat dari literasi antara lain membekali individu dengan keterampilan untuk pembelajaran seumur hidup (lifelong learning), seseorang tidak sekedar mengetahui cara menggunakan komputer/internet namun juga memanfaatkannya secara positif, literasi informasi membantu pengguna memanfaatkan informasi relevan sebagai sarana decision making (pengambilan keputusan), literasi informasi memungkinkan untuk mengkritisi daya guna informasi, dan yang paling penting yaitu literasi informasi mendorong kita untuk berpikir kritis dan kreatif (critical & creative thinking).

KESIMPULAN       
Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa di era globalisasi informasi ini, literasi informasi bermanfaat bagi setiap individu, baik pendidik, peserta didik, maupun anggota masyarakat lainnya. Literasi informasi yang dimiliki setiap individu akan membekali keterampilan untuk pembelajaran seumur hidup dengan mengetahui penggunaan teknologi informasi sehingga memungkinkan terciptanya sebuah pengetahuan baru dan membantu seseorang  dalam mengambil keputusan-keputusan dengan berpikir kritis dan kreatif ketika menghadapi berbagai masalah maupun ketika membuat suatu kebijakan agar mampu bertahan dalam persaingan.
  
DAFTAR PUSTAKA
American Association of School Librarians (1998).
Andayani, Sri. 2008. Information Literacy Kunci Sukses Pembelajaran Di Era Informasi. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Sri%20Andayani,%20S.Si.,M.Kom./Information%20Literacy%20Kunci%20Sukses%20Pembelajaran%20Di%20Era%20Informasi.pdf [Diakses 10 Maret 2017].
Bhandari, KM. 2003. “Information Literacy”. Tulssaa Journal. Vol.3 Number 1, November. Tribhuvan University. 
Farida, Ida, dkk. 2006. Information Literacy Skill: Dasar Pembelajaran Seumur Hidup. Jakarta: UIN Jakarta Press.
Gunawan, Agustin Wydia [dkk]. 2008. Literasi Informasi: 7 Langkah Knowledge Management. Jakarta: Universitas Atma Jaya.
Lasa HS. 2009. Kamus Kepustakawanan Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Maslahah, Khoirul. 2013. Bunga Rampai Layanan Perpustakaan Berbasis Humanisme. Surakarta: Perpustakaan IAIN Surakarta.
Prasetiawan, Imam Budi. (2011). Keberaksaraan Informasi (Information Literacy) bagi SDM Pengelola Perpustakaan di Era Keterbukaan Informasi. [Online] pada: http://eprints.rclis.org/17553/1/Keberaksaraan_Informasi__Information_ Literacy__bagi_SDM_Pengelola_Perpustakaan_mei_2011.pdf [Diakses 10 Maret 2017]. 

Image Source: https://id.pinterest.com/pin/290200769732209449/

UTS Strategi Pembelajaran

No comments     
categories: 

Tuesday, August 1, 2017

Peran Guru dan Orang Tua dalam Perkembangan Kognitif Anak

No comments     
categories: ,
Taufik Hidayat Eko Yunianto
Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar IKIP PGRI Madiun
mr77vick@gmail.com

ABSTRAK

Perubahan dalam perkembangan individu merupakan hasil dari proses biologis, kognitif dan sosio-emosional yang saling berkaitan. Pada masa kanak-kanak akhir (usia 7-12 tahun), anak telah dapat berfikir logis terhadap objek konkret dalam perkembangan kognitifnya. Sangat disayangkan jika perkembangan pola pikir anak tidak diarahkan dengan baik. Pendidikan memegang peranan penting pada tahap operasional konkret ini, karena tanpa pendidikan yang benar maka konsep diri yang negatif dapat terbentuk. Guru adalah salah satu faktor penting yang sangat berpengaruh dalam meningkatkan kemampuan berfikir anak. Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang peranan guru dalam membimbing anak didiknya kaitannya dengan perkembangan kognitifnya agar mencapai ekuilibrium antara asimilasi dan akomodasi tiap anak. Guru harus tahu betul karakteristik masing-masing anak didiknya. Sangat diperlukan sosok guru yang memiliki kualifikasi, kompetensi, dan dedikasi yang tinggi dalam menjalankan tugas profesionalnya. Selain guru, orang tua juga memegang peranan penting dalam perkembangan anak. Orang tua harus sadar bahwa pendidikan anak tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak lembaga pendidikan saja, namun juga menjadi tanggung jawab bersama. Maka dari itu, antara guru dan orang tua perlu menjalin hubungan komunikasi yang efektif untuk memberikan layanan yang berkualitas terhadap anak.

Kata Kunci: perkembangan kognitif, peran guru, peran orang tua


PENDAHULUAN

Melihat realita yang ada, dapat kita sadari bahwa setiap dimensi kehidupan semakin lama semakin berkembang. Tidak ada zaman yang tidak berkembang, tidak ada kehidupan manusia yang tidak bergerak, dan tidak ada satu pun manusia yang hidup dalam stagnasi peradaban. Apalagi jika kita berbicara tentang setiap individu manusia, mereka selalu selalu mengalami perkembangan. Perkembangan individu ini merupakan pola gerak atau suatu perubahan yang dinamis dimulai dari pembuahan atau konsepsi dan terus berlanjut sepanjang siklus kehidupan manusia yang terjadi akibat dari kematangan dan pengalaman (Hurlock, 1991; Rice, 2001). Perubahan yang dinamis ini tidak hanya dipengaruhi oleh diri manusia itu sendiri tetapi juga dari apa yang individu dapat dari lingkungan hidupnya. Perubahan dalam perkembangan individu merupakan hasil dari proses-proses biologis, kognitif dan sosio-emosional yang saling berkaitan (Izzaty dkk., 2008: 105).

Perkembangan kognitif anak meliputi perubahan pada pemikiran, intelegensi, dan bahasa individu. Para ahli menggambarkan perkembangan dalam beberapa tahapan yang disebut dengan tahapan perkembangan. Tahapan perkembangan ini meliputi periode prakelahiran, masa bayi, masa kanak-kanak awal, masa kanak akhir, masa remaja, masa dewasa awal, masa dewasa madya, dan masa lanjut usia (Santrock, 1995). Pada masa kanak-kanak akhir (7-12 tahun), kemampuan kognitif anak telah mencapai tahap operasional konkret, dimana anak telah dapat berfikir logis terhadap objek-objek konkret. Dengan kemampuan kognitifnya, anak masih cenderung menggunakan tauladan atau mencontoh perbuatan-perbuatan orang yang ada di dekatnya, baik itu teman sebaya maupun orang dewasa (Sari dkk., 2015: 43). Sungguh sangat disayangkan jika perkembangan pola pikir anak tidak diarahkan dengan baik pada usia ini. Kita harus tahu benar bagaimana cara membimbing anak yang tepat agar kemampuan berfikir, intelegensi dan bahasa anak tersebut benar-benar berkembang dengan baik.

Melihat permasalahan-permasalahan tersebut maka tidak dapat terlepaskan dari peranan pendidikan. Salah satu faktor penting penentu perkembangan anak adalah guru. Guru yang seperti apa yang memang dibutuhkan oleh anak. Guru yang sekedar “mengajar” atau guru yang memang melakukan “bimbingan” terhadap siswa. Selain guru, peranan orang tua juga sangat dibutuhkan pada masa kanak-kanak akhir ini, karena anak mendapatkan pendidikan tidak hanya dalam lingkungan sekolah tetapi juga daalam lingkungan keluarga. Antara guru dan orang tua perlu menjalin hubungan komunikasi yang efektif untuk memberikan layanan yang berkualitas terhadap anak.

PERKEMBANGAN KOGNITIF

Setiap manusia yang hidup di muka bumi ini pasti akan mengalami perkembangan dalam kehidupannya. Perkembangan itu melibatkan banyak faktor yang terjadi pada setiap periode kehidupan individu manusia. Perkembangan individu menyangkut berbagai macam perubahan yang terjadi berdasarkan hasil interaksinya dengan berbagai faktor yang berlangsung secara continue sepanjang siklus kehidupan (Santrock, 2007:7). Perkembangan cenderung bersifat kualitatif yang berkaitan dengan pematangan fungsi organ individu. Perkembangan menghasilkan bentuk-bentuk dan ciri-ciri kemampuan baru yang berlangsung dari tahap aktivitas yang sederhana ke tahap yang lebih tinggi (Desmita, 2012:8). Salah satu hasil perkembangan yang dialami oleh individu adalah perubahan kemampuan kognitifnya.

 Setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, khususnya kemampuan kognitif. Mereka memiliki kemampuan kognitif yang disebut scemata, yaitu sistem konsep yang ada dalam pikiran sebagai hasil dari pemahamannya terhadap semua objek yang ada dalam lingkungannya (Hardiyati dkk., 2007). Menurut Susanto (2012: 47), kognitif diartikan sebagai suatu proses berpikir, yaitu kemampuan individu yang berhubungan dengan tingkat kecerdasan individu dalam menghubungkan, menilai, dan mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa. Maka dapat disimpulkan bahwa kognitif merupakan kemampuan intelegensi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan yang berkaitan dengan lingkungannya.

Perkembangan kognitif dimulai dengan kemampuan bawaan individu untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Anak-anak mengubah pandangan mereka tentang dunia dan bertindak dengan semestinya dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Menurut Piaget dalam buku Papalia (2003: 243) menjelaskan bahwa perkembangan kognitif selama seluruh periode masa kanak-kanak terjadi melalui tiga prinsip yang antara satu dengan yang lainnya saling berkaitan, yaitu organisasi, adaptasi dan ekuilibrasi. Organisasi adalah suatu kecenderungan untuk menciptakan struktur kognitif yang semakin kompleks. Dari beragam pengalaman fisik dan sosial di lingkungannya, anak berhadapan dengan hasil yang tidak diduga dan bahkan membingungkan yang pada akhirnya anak harus mengolahnya melalui pola berpikir (Bukatko & Daehler, 2004: 21). Kemudian adaptasi adalah bagaimana seorang anak menangani informasi baru yang tampaknya bertentangan dengan apa yang telah diketahui anak. Sedangkan ekuilibrium merupakan keseimbangan stabil yang menentukan pergeseran dari asimilasi dengan akomodasi. Beberapa proses di atas menggambarkan bagaimana seorang anak mengalami perkembangan kognitif yang terjadi dalam kehidupannya.

Menurut Piaget, perkembangan kognitif adalah hasil gabungan dari kedewasaan otak dan sistem syaraf, serta adaptasi pada lingkungan kita (Izzaty dkk., 2008: 34). Perkembangan kognitif menyangkut perkembangan berpikir dan bagaimana kegiatan berpikir itu bekerja. Dalam perkembangan kognitif ini lebih menekankan pada pengoptimalan kemampuan dalam aspek rasional yang dimiliki oleh anak. Proses perkembangannya meliputi perubahan pada pemikiran, intelegensi dan bahasa individu. Husdarta dan Nurlan (2010: 78) berpendapat bahwa perkembangan kognitif adalah proses yang terjadi secara terus-menerus, namun hasilnya bukan termasuk sambungan dari hasil yang dicapai sebelumnya. Anak akan mengalami berbagai tahapan perkembangan kognitif yang setiap periode perkembangannya anak akan selalu mencari keseimbangan antara struktur kognitif dengan pengalaman-pengalaman baru. Untuk memahami perkembangan kognitif anak, kita harus melihatnya dalam proses pembelajaran.

Jika kita berbicara tentang perkembangan kognitif anak usia SD yaitu 7-12 tahun, maka kita akan merujuk pada TEORI BELAJAR yang dikemukakan oleh Jean Piaget. Menurut Piaget, masa kanak-kanak akhir berada dalam masa operasional konkret dalam berfikir (Izzaty dkk., 2008: 105). Pada tahap ini anak sudah menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis serta sudah tidak memusatkan diri pada karakteristik perspektual pasif (Budiningsih, 2012: 37). Perkembangan kognitif anak usia awal Sekolah Dasar pada umumnya ditunjukkan dengan kemampuannya dalam mengelompokkan objek, berminat terhadap angka dan tulisan, meningkatnya perbendaharaan kata, senang berbicara, memahami sebab akibat dan berkembangnya pemahaman terhadap ruang dan waktu (Hadiyati dkk., 2007). Selain itu, pada tahap operasional konkret ini, anak dapat mengembangkan pikiran logisnya walau kadang-kadang dalam memecahkan masalah masih secara trial and error. Pada tahap operasional konkret yang berlangsung hingga usia remaja ini anak memperoleh tambahan kemampuan yang disebut system operations (satuan langkah berpikir). Satuan ini ditunjukkan dengan kemampuan anak dalam mengkoordianasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentuke dalam sistem pemikirannya sendiri. Satuan langkah berpikir inilah yang nantinya akan menjadi intelegensi intuitif.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor kognitif memiliki peranan penting bagi keberhasilan anak dalam belajar karena sebagian besar aktivitas anak dalam belajar selalu berhubungan dengan masalah mengingat dan berpikir. Perkembangan kognitif dimaksudkan agar seorang anak dapat melakukan eksplorasi terhadap dunia sekitar dengan menggunakan panca indera sehingga dengan pengetahuan yang ia dapatkan tersebut menjadi bekal dalam melangsungkan hidupnya.

PERAN GURU DALAM PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK

Memahami tentang pengertian perkembangan kognitif, maka kita sadari betapa pentingnya faktor-faktor pendukung agar perkembangan kognitif tersebut berjalan sebagaimana mestinya. Pembangunan kemampuan kognitif harus melalui pengalaman atau tindakan yang termotivasi dengan sendirinyan terhadap lingkungan, jadi apabila dalam lingkup sekolah maka pembelajaran anak harus bersifat aktif. Peran seorang guru sangat dituntut dalam permasalahan ini karena guru berinteraksi langsung dengan peserta didik baik dalam PEMBELAJARAN JARAK JAUH dan PEMBELAJARAN ONLINE, maupun secara langsung melalui proses pembelajaran di kelas. Guru lah yang akan menghasilkan peserta didik yang berkualitas, baik secara akademis, skill, kematangan emosional dan moral serta spiritual. Oleh karena itu, diperlukan sosok guru yang mempunyai kualifikasi, kompetensi, dan dedikasi yang tinggi dalam menjalankan tugas profesionalnya.

Guru merupakan pendidik profesional yang memiliki tugas utama mendidik, mengajar, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Guru harus tahu benar tentang karakteristik peserta didik dan juga apa saja yang memang relevan untuk diajarkan pada mereka. Guru juga harus kreatif dalam merancang dan menggunakan strategi, metode, model, hingga media pembelajaran, serta harus disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Menurut Jean Piaget, belajar akan lebih berhasil jika disesuaikan dengan tahap perkembangan peserta didik. Seorang guru hendaknya banyak memberikan beberapa rangsangan kepada peserta didik agar mereka mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari, mengamati dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.

Peserta didik merupakan makhluk hidup yang memerlukan bimbingan dan pembinaan untuk menuju kedewasaan (Slameto, 2010: 35). Membimbing dan membina peserta didik dalam pembelajaran dapat dimulai dengan membangkitkan perhatian. Inilah salah satu hal yang penting agar kemampuan kognitif peserta didik yang telah dimilikinya dapat tereksplor. Tentunya seorang guru harus benar-benar jeli dalam merangsang perhatian peserta didik dengan strategi, metode, dan media yang menarik. Semuanya harus memiliki unsur yang memang merangsang siswa untuk berpikir, atau pun dengan menghubungkan materi dengan pengetahuan yang memang telah dimiliki peserta didik. Jika perhatian kepada pelajaran itu ada pada diri peserta didik, maka pelajaran yang akan diterimanya akan dihayati, diolah dalam pikirannya, sehingga timbul pengertian (Slameto, 2010: 36).

Setiap anak pada dasarnya memiliki jalan pikiran yang terbuka terhadap dunia sekitarnya. Seorang guru harus menyadari tentang hal ini karena agar dapat menemukan perspektif unik pada anak, guru harus melakukan observasi yang cermat terhadapnya. Sensitifitas guru sangat dituntut dalam hal ini, yaitu dengan melakukan pendekatan yang terpusat pada anak. Adanya perbedaan individu pada peserta didik perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mempengaruhi proses belajar peserta didik (Aunurrahman, 2012: 45). Ditambah lagi dengan bahasa dan cara berpikir anak yang tentu saja berbeda dengan orang dewasa. Guru harus menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir anak dalam pembelajaran (Suyono, 2012: 87).

Memusatkan pembelajaran pada anak berarti harus membangkitkan aktivitas anak. Anak membutuhkan kesempatan untuk melakukan tindakan terhadap objek yang dipelajarinya. Menurut Piaget, mengetahui suatu objek adalah dengan melakukan sesuatu pada objek tersebut. Dalam proses pembelajaran, guru perlu membangkitkan aktivitas siswa dalam berpikir maupun berbuat. Bila siswa menjadi individu yang mau berpartisipasi secara aktif, maka ia memiliki ilmu/pengetahuan itu dengan baik (Slameto, 2010: 36). Maka dari itu guru harus mau dan mampu memaparkan materi atau situasi yang dapat mendorong anak untuk merancang eksperimennya sendiri. Anak akan merasa terarahkan pada pengetahuan yang lebih mendalam sehingga dapat tersimpan dalam long term memory. Selain itu, guru sebagai penanggung jawab pendisiplinan anak harus mampu mengontrol stiap aktivitas peserta didik agar tingkah laku mereka tidak menyimpang dari norma-norma yang ada (Sari, 2015: 45).

Materi yang dapat mendorong aktivitas peserta didik tentunya adalah materi yang baru namun tidak asing bagi mereka. Sesuatu yang baru harus disesuaikan dengan apa yang telah diketahui peserta didik sebelumnya (Aunurrahman, 2012: 45). Menurut Piaget, struktur kognitif anak yang berinteraksi dengan pengalaman baru akan dapat menimbulkan minat dan menstimulasi perkembangan kognitif yang lebih lanjut. Setiap guru perlu menghubungkan pelajaran dengan pengalaman atau pengetahuan yang memang telah dimiliki oleh peserta didik dalam pembelajaran. Maka dalam proses pembelajaran kegiatan atau tahap appersepsi sangat dibutuhkan. Hal ini akan melancarkan jalannya pembelajaran dan membantu siswa untuk memperhatikan pelajarannya dengan baik. Guru harus membantu anak dan mengakomodasikan anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sabaik-baiknya. Sesungguhnya yang dibutuhkan peserta didik adalah kesempatan belajar dalam lingkungan yang kaya akan potensi dan mengandung elemen-elemen yang menarik. Menilai materi yang menantang bagi peserta didik dan mengevaluasi tahap kognisi peserta didik, serta menyajikan ide dan gagasan baru yang konsisten dengan perkembangan kognisi anak adalah tugas seorang guru.

Peserta didik merupakan makhluk individuyang banyak memiliki keunikan, yang mana antara satu dengan yang lainnya memiliki perbedaan yang khas. Perbedaan ini diantaranya adalah seperti tingkat intelegensi, minat bakat, hobi, tingkah laku watak atau pun sikap. Latar belakang mereka pun berbeda-beda. Siswa akan mengalami perkembangan sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Guru harus mau dan mampu menyelami satu per satu (secara individu) hingga menemukan perbedaan yang mereka miliki. Hal ini dilakukan agar guru dapat melayani dan memberikan bimbingan yang benar-benar sesuai dan dibutuhkan oleh peserta didik. Guru perlu mengadakan perencanaan untuk siswa baik secara klasikal maupun individual. Penggunaan strategi dan metode harus benar-benar relevan demi pelayanannya terhadap kelas, maupun siswa sebagai individu.

Faktor lain yang mempengaruhi perkembangan kognitif anak adalah pengalaman sosial atau pengalaman bersama orang lain. Pada mulanya yang dinilai penting oleh seorang anak adalah segala sesuatu, objek, dan kejadian yang berkaitan dengan dirinya. Namun dalam perkembangannya anak akan mengerti sudut pandang orang lain yang lebih objektif, salah satu caranya adalah dengan melatih anak agar melakukan interaksi sosial. Interaksi sosial akan mengarahkan anak pada penyusunan argumentasi dan diskusi, sehingga cara pandang anak akan dipertanyakan dan disinilah anak dituntut untuk memperjelas cara pandangnya sendiri serta membuktikan kebenarannya. Interaksi sosial di lingkungan sekolah perlu dibina dengan baik. Peserta didik perlu bertukar pengalaman, memberikan alasan dan mempertahankan pendapatnya (Setiono, 2009: 36). Guru harus memberikan peluang agar anak dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya. Hendaknya peserta didik diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temannya dalam pembelajaran di kelas (Suyono, 2012: 87). Bekerja di dalam kelompok juga dapat meningkatkan cara berpikir peserta didik, sehingga mereka dapat memecahkan masalah dengan lebih baik dan lancar (Slameto, 2010: 38).

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan kognitif anak dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal diantaranya adalah berdasarkan stimulus yang diberikan oleh seorang guru dalam melakukan bimbingan terhadap peserta didik. Faktor ini sangat membutuhkan peranan seorang guru yang profesional dalam mengelola pembelajaran. Kemudian faktor internalnya adalah kemampuan yang telah ada pada diri peserta didik itu sendiri yang berkaitan dengan kemampuan kognitif, intelegensi, minat, bakat, dan lain-lain. Maka dari itu prinsip-prinsip mengajar yang harus dipenuhi seorang guru adalah melakukan pendekatan terhadap anak, membangkitkan aktivitas anak, pembelajaran secara individual dan kelompok, serta mengorganisir interaksi sosial peserta didik.

Terkait dengan langkah-langkah pembelajaran yang merupakan bagian dari metode pembelajaran, Suciati dan Prasetya Irawan dalam buku Budiningsih (2005: 50) menyimpulkan bahwa menurut konsep Piaget langkah-langkah pembelajaran yang baik meliputi aktivitas sebagai berikut:

1.      menentukan tujuan pembelajaran;
2.      memilih materi pelajaran;
3.      menentukan topik-topik yang dapat dipelajari siswa secara aktif;
4.   menentukan kegiatan belajar yang sesuai untuk topik-topik tersebut misalnya penelitian, memecahkan masalah, diskusi, simulasi, dan sebagainya;
5.  mengembangkan metode pembelajaran untuk merangsang kreativitas dan cara berpikir siswa;
6.     melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.

PERAN ORANG TUA DALAM PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK

Secara umum ahli teori kognitif telah memfokuskan perhatian pada proses mental dan perannya dalam mengarahkan perilaku individu. Piaget telah menekankan peentingnya pendidikan dalam memperhatikan tahapan perkembangan kognitif setiap individu sehingga metode pendekatan pembelajaran dapat diberikan dengan tepat. Interaksi peserta didik dengan pendidik dan teman sebaya dalam mengembangkan pengetahuan juga sangat mempengaruhi perkembangan kognitif tiap individu. Pengamatan merupakan hal penting yang harus dilakukan, tidak hanya oleh guru tetapi juga oleh orang tua. Vigotsky dalam Izzaty (2008: 39) menekankan peran orang dewasa dalam memimpin perkembangan, yaitu bukan hanya mencocokkan lingkungan pembelajaran melainkan juga membuat lingkungan anak dengan bantuan orang lain dapat memperluas dan meningkatkan pemahaman mereka.

Pendidikan merupakan proses kerja tim yang di dalamnya melibatkan anak (peserta didik), guru, orang tua, dan orang-orang di sekitar anak. Guru hanyalah sebagai partner dari orang tua dalam mendidik anak, bukan faktor tunggal yang menentukan keberhasilan pendidikan. Antara embaga pendidikan memang harus menjalin kerjasama dengan pihak orang tua kaitannya dengan perkembangan anak. Saat ini sudah banyak pihak sekolah yang mengadakan buku penghubung orang tua dan guru yang mencatat semua kegiatan anak di sekolah, Parent Teacher Conference, bahkan pengadaan seminar tentang kurikulum sekolah. Hal ini dilakukan agar pihak orang tua tidak menjadi buta terhadap pendidikan anaknya. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan orang tua pada proses pendidikan anak akan mempengaruhi pencapaian akademis anak. Contoh kecil yang kerap kita jumpai adalah dengan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif di rumah, penerapan waktu khusus untuk belajar, bahkan tidak sedikit yang membiayai anak untuk les tambahan.

Memahami tahapan perkembangan anak serta kebutuhan pengembangan potensi kecerdasan anak stiap tahapannya merupakan kewajiban orang tua. Orang tua tidak bisa menyerahkan pendidikan anak seutuhnya kepada sekolah. Pendidikan anak dimulai dari pendidikan orang tua di rumah, dan orang tua memegang tanggung jawab utama terhadap anak. Sekolah hanya merupakan suatu lembaga yang membantu proses tersebut. Maka dari itu, orang tua harus menggunakan pola asuh yang tepat demi terciptanya perkembangan positif yang maksimal bagi buah hatinya. Santrock dalam bukunya dalam bukunya  Educational Psychology (2011) menyinggung 4 macam parenting styles, yaitu authoritative, authoritarian, neglectful, dan indulgent. Namun peranan yang paling tepat untuk perkembangan anak adalah authoritative parenting. Orang tua yang authoritative lebih berperilaku hangat namun tetap tegas. Mereka mendorong anaknya menjadi pribadi yang mandiri dan memiliki kebebasan namun tetap memberi batasan-batasan serta kontrol terhadap anak. Kualitas pengasuhan ini dirasa sangat baik dan lebih memicu keberanian, motivasi dan kemandirian. Kaitannya dengan kemampuan kognitif anak, pola asuh ini sangat memperhatikannya dengan membebaskan anak berkreasi dan mengungkapkan pendapatnya dalam keluarga. Antara orang tua dan anak terjalin hubungan yang baik dengan menghargai hak satu sama lain.

Peranan orang tua kaitannya dengan pendidikan anak perlu ditingkatkan. Adapun cara-caranya antara lain; Pertama, orang tua mengontrol waktu belajar dan cara belajar anak. Anak diajarkan untuk belajar dengan rutin, tidak hanya saat mendapat pekerjaan rumah atau akan menghadapi ujian saja. Setiap hari anak harus mengulang apa yang telah ia pelajari di sekolah agar kemampuan kognitif anak terus berkembang. Selain itu juga orang tua harus memberi waktu untuk bermain agar terjadi keseimbangan antara asupan otak kiri dan otak kanan anak. Kedua, orang tua harus memantau kemampuan akademik anak. Hal ini dapat dilakukan dengan memeriksa nilai-nilai dan tugas anak. Apabila nilai jelek berikan nasihat atau bila perlu berikan challange agar motivasi anak meningkat, bila nilai yang mereka dapat baik maka berikan rewards. Ketiga, orang tua harus memantau perkembangan kepribadian yang mencakup sikap, moral dan tingkah laku anak. Berkomunikasi dengan wali kelas atau guru kelas sangat diperlukan dalam hal ini. Keempat, bantulah anak untuk mengenali potensi sesuai bakat dan minatnya, jangan pernah memaksakan kehendak, berikan kebebasan yang bertanggung jawab kepada anak agar terlatih sejak dini. Dukungan dari pihak orang tua sangat dibutuhkan kaitannya dengan pengembangan potensi yang ada dalam diri anak.

Beberapa hal kecil yang dapat dilakukan orang tua dalam kehidupan sehari-hari demi perkembangan buah hatinya antara lain adalah dengan menjadi contoh yang baik. Perlu kita ketahui bahwa anak lebih memandang dan meniru perilaku orang dewasa di dekatnya, daripada mendengarkan nasihat. Maka jika kita memberikan contoh yang real tentang bagaimana menggunakan sopan santun pada orang lain, mengikuti peraturan yang ada, bahkan makan dan minum yang sehat, maka anak akan menirunya dengan baik. Perbanyaklah berkomunikasi dengan anak, ajak anak melihat suatu permasalahan dari sudut yang berbeda, itu akan membantu perkembangan kognitif anak kaitannya dengan pola pikir. Dorong anak melakukan segala sesuatu sebaik mungkin, tunjukkan bahwa pendidikan itu penting agar mereka bersungguh-sungguh dalam belajar. Berilah kesempatan anak untuk berbuat salah agar mereka belajar tentang konsekuensi dari kesalahannya tersebut. Hal lain yang dapat orang tua lakukan adalah memberikan dukungan untuk bersekolah kepada anak agar mereka termotivasi dan lebih semangat dalam proses pembelajaran nantinya.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa orang tua dan sekolah merupakan dua unsur yang saling berkaitan satu sama lain. Supaya antara orang tua dan sekolah tidak salah dalam mendidik anak harus terjalin kerjasama antara kedua belah pihak. Keduanya harus memiliki kesepahaman dalam konsep mendidik anak agar anak tidak terjerumus kedalam karakter ganda. Setiap kejadian yang terjadi di sekolah dan di rumah hendaknya menjadi bahan evaluasi tentang perkembangan anak. Orang tua harus sadar bahwa pendidikan anak tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak lembaga pendidikan saja, namun juga menjadi tanggung jawab bersama. Maka dari itu, antara guru dan orang tua perlu menjalin hubungan komunikasi yang efektif untuk memberikan layanan yang berkualitas terhadap anak.


KESIMPULAN

Perkembangan individu ini merupakan pola gerak atau suatu perubahan yang dinamis dimulai dari pembuahan atau konsepsi dan terus berlanjut sepanjang siklus kehidupan manusia yang terjadi akibat dari kematangan dan pengalaman. Faktor kognitif memiliki peranan penting bagi keberhasilan anak dalam belajar karena sebagian besar aktivitas anak dalam belajar selalu berhubungan dengan masalah mengingat dan berpikir. Pada masa kanak-kanak akhir (7-12 tahun), kemampuan kognitif anak telah mencapai tahap operasional konkret, dimana anak telah dapat berfikir logis terhadap objek-objek konkret. Pendidikan memegang peranan penting pada tahap operasional konkret ini, karena tanpa pendidikan yang benar maka konsep diri yang negatif dapat terbentuk. Oleh karena itu, diperlukan sosok guru yang mempunyai kualifikasi, kompetensi, dan dedikasi yang tinggi dalam menjalankan tugas profesionalnya. Selain guru, orang tua juga memegang peranan penting dalam perkembangan anak. Orang tua harus sadar bahwa pendidikan anak tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak lembaga pendidikan saja, namun juga menjadi tanggung jawab bersama. Maka dari itu, antara guru dan orang tua perlu menjalin hubungan komunikasi yang efektif untuk memberikan layanan yang berkualitas terhadap anak.


DAFTAR PUSTAKA
Aunurrahman. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Budiningsih, 2005. Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta.
Budiningsih, 2012. Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta.
Bukatko & Daehler. 2004. Child Development: A Thematic Approach. New York: Houghton Mifflin Company.
Desmita. 2012. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hadiyati. 2007. Pelatihan Implementasi “PAKEM” pada Bidang Studi IPS SD. UNY
Husdarta & Nurlan. 2010. Prtumbuhan dan Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Alfabeta.
Papalia, D.E. 2003. Child Development. New York: The McGraw-Hill Companies Inc.
Santrock, J.W. 2007. Perkembangan Anak Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Santrock, J.W. 2012. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup, Edisi Ketigabelas Jilid I, Penerjemah: Benedictine Wisdyasinta. Jakarta: Erlangga.
Sari, M.K. dkk. 2015. Pengantar Pembelajaran IPS SD Kelas Rendah. Madiun: IKIP PGRI Madiun.
Setiono, K. 2009. Psikologi Perkembangan. Bandung: Widya Padjajaran.
Slameto. 2010. Belajar& Faktor-faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta.
Suyono & Hariyanto. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Peran Orang Tua dalam Perkembangan Anak
Peran Orang Tua Penting Bagi Perkembangan Kognitif Anak

Contact Us


categories: 

Powered by 123ContactForm | Report abuse

Downloads

No comments     
categories: 

Social Science Education in The Middle of Multicultural Society

No comments     
categories: 

Social Science Education in The Middle of Multicultural Society

Indonesian society has a complex diversity level which is often referred as  multicultural society. Based on this concept, there is close connection between the establishment of a society in accordance with unity in diversity and the realization of a national culture which unifies Indonesia. However, in practice, there are still many obstacles that prevent the development of multiculturalism in Indonesian society. In order to compete in international level, Indonesian people must be able to cope with the problems in the national level, especially, in upholding the unity of the nation. Nevertheless, social conflicts frequently appear and even lead to violence. This research discusses the importance of social science education for the young generation in order to minimize or even eradicate the problems that occur in the middle of  multicultural society.



Keywords: Education, Social Science, Multicultural