Teori Belajar
Teori belajar banyak dikemukakan oleh para ahli untuk menjabarkan tentang pengertian belajar dari berbagai sudut pandang dan tujuannya. Berikut ini adalah beberapa teori belajar yang umum digunakan sebagai landasan teori dalam kegiatan pembelajaran.
A. Teori Belajar Behaviorisme
Menurut pengertian secara psikologis,
belajar merupakan suatu proses perubahan, yaitu perubahan tingkah laku sebagai
hasil interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
(Slameto, 2003: 2). Dalam Sardiman A.M (2005: 20), Cronbach memberikan
definisi, “Learning is shown by a change
in behavior as a result of experience.” (Belajar adalah memperlihatkan
perubahan dalam perilaku sebagai hasil dari pengalaman. Kemudian menurut
Hilgard (1962), “Belajar adalah proses muncul atau berubahnya suatu perilaku
karena adanya respon terhadap situasi”.
Para
ahli behaviorisme berpendapat bahwa belajar adalah sebagai akibat adanya
interaksi antara stimulus (S) dengan respon (R) (Suyono dan Hariyanto, 2012:
59). Menurut teori ini dalam belajar yang paling penting adalah adanya input
berupa stimulus dan output berupa respon. Belajar akan lebih berhasil apabila
respon siswa terhadap stimulus diikuti dengan rasa senang dan kepuasan (Hamdani,
2011: 288). Para ahli yang mengembangkan teori ini antara lain E.L Thorndike, Ivan Pavlov, B.F Skinner, J.B.
Watson, Clark Hull dan Edwin Guthrie. Skinner beranggapan bahwa perilaku manusia
yang dapat diamati secara langsung adalah akibat konsekuensi dari perbuatan
sebelumnya (Semiawan, 2002: 3).
Behaviorisme
menekankan apa yang dapat dilihat, yaitu tingkah laku, dan kurang memperhatikan
apa yang terjadi di dalam pikiran karena tidak dapat dilihat (Aunurrahman,
2012: 39). Behaviorisme memandang pikiran sebagai “kotak hitam” dalam merespon
rangsangan yang dapat diobservasi secara kuantitatif, sepenuhnya mengabaikan
proses berpikir yang terjadi dalam otak (Hamdani, 2011: 63).
Aliran
ini disebut dengan behaviorisme karena menekankan pada perlunya perilaku
(behavior) yang dapat diamati. Ada beberapa ciri dari rumpun teori ini, yaitu:
(1) mengutamakan unsur-unsur atau bagian kecil, (2) bersifat mekanistis, (3)
menekankan peranan lingkungan, (4) mementingkan pembentukan respon, (5)
menekankan pentingnya latihan (Suyono dan Hariyanto, 2012: 58). Namun ciri yang
paling mendasar dari aliran ini adalah bahwa perubahan tingkah laku yang
terjadi adalah berdasarkan paradigma S-R (Stimulus Respons), yaitu suatu proses
yang memberikan respon tertentu terhadap sesuatu yang datang dari luar
(Aunurrahman, 2012: 39).
Teori
belajar behaviorisme tidak lepas dari sejumlah kritikan. Kritikan yang mendasar
antara lain mempertanyakan kelayakan penggunaan hasil uji coba yang digunakan
pada binatang serta keterbatasan-keterbatasan laboratorium. Apakah hasil
penelitian proses belajar menyangkut S-R yang diperoleh dengan menggunakan
binatang sebagai subjek uji coba dapat diterapkan pada manusia, sebab binatang
yang berlainan species saja akan memberikan respon lain apabila diberi semacam
stimula dan penguat (Aunurrahman, 2012: 43).
Kritikan
terhadap teori belajar behaviorisme juga diarahkan pada sejauh mana
faktor-faktor sosial dalam penelitian eksperimen di laboratorium tersebut
diperhatikan. Sebagaimana diketahui bahwa proses belajar pada manusia bukan
sesuatu yang berdiri sendiri, karena banyak faktor lingkungan yang turut
memberi pengaruh terhadap kegiatan maupun hasil belajar. Demikian juga Nampak
kecenderungan bahwa penelitian di laboratorium mengesampingkan faktor-faktor
perkembangan seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Demikian
keterbatasan-keterbatasan dari teori belajar behaviorisme yang diakui belum
dapat mengungkap secara mendasar tentang proses belajar. Lebih-lebih pandangan
behaviorisme yang terkesan mekanistik dan kaku dalam memandang kegiatan belajar
yang dilihat sebagai perubahan tingkah laku.
B. Teori
Belajar Kognitivisme
Banyak
para ahli dan pimikir pendidikan yang kurang puas terhadap ungkapan para
behavioris bahwa belajar sekedar hubungan antara stimulus dengan respon.
Menurut mereka perilaku seseorang selalu didasrkan oleh kognitif, yaitu
tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana prilaku itu terjadi. Istilah
kognitif tersendiri walau banyak di populerkan oleh Piaget dengan teori
perkembangan kognitifnya, sebenarnya telah dikembangkan oleh Wilhelm Wundt
(Bapak psikologi). Menurut Wundt kognitif adalah sebuah proses aktif dan
kreatif yang bertujuan membangaun struktur melalui pengalaman-pengalaman. Wundt
percaya bahwa pikiran adalah hasil kreasi para siswa yang aktif dan kreatif
yang kemudian di simpan di dalam memori (DiVesta dalam Suyono, 2012: 73).
Akibat
kuatnya pengaruh behaviorisme pada dunia pembelajaran, perubahan dari
behaviorisme ke kognitivisme bukanlah perubahan yang linear, lurus dan serta
merta. Namun terjadi perubahan dengan apa yang disebut revolusi kognitif.
Revolusi kognitif adalah nama gerakan intelektual yang terjadi pada tahun
1950-an. Saat itu terjadi komunikasi dan reset antar disiplin yang intensif,
yang esensinya tidak menyetujuai penerapan konsep behaviorisme yang mengabaikan
proses mental atau pikiran itu. Komunikasi intens itu melibatkan sejumlah ahli
psikologi, antropologi dan linguistik. Pelopor gerakan ini antara lain adalah
Jerome Brunen, Donald Broadbent, Ulric Neisser, Noam Chomscy, Herbert Simon,
dan Allen Newell (Suyono dan hariyanto, 2012: 74).
Terdapat
lima gagasan pokok yang melandasi revolusi kognitif ini seperti dinyatakan oleh
Steven Pinker (2002) dalam Suyono (2012:74), yaitu:
1. Dunia mental (pikiran)
dapat dibumikan pada dunia fisis melalui konsep-konsep tentang informasi,
komputasi, dan umpan balik
2. Pikiran tidak mungkin
seperti papan tulis kosong karena papan tulis kosong tidak dapat berbuat
apa-apa
3. Suatu rentang yang tidak
terbatas menyangkut prilaku dapat dibangkitkan oleh program gabungan tertentu
di dalam pikiran
4. Mekanisme mental
universal dasar timbulnya berbagai macam variasi tindakan lintas budaya
5. Pikiran adalah suatu
sistem kompleks yang tersusun dari bagian-bagian yang saling berinteraksi.
Teori Kognitivisme Menurut Para Ahli
1. Teori Kognitif Gestalt
Teori ini dimaknai sebagai kesatuan atau keseluruhan yang bermakna (a unified or meaningful whole). Pokok
pandangan gestalt adalah bahwa objek atau peristiwa tertentu akan dipandang
sebagai suatu keseluruhan yang terorganisasi. Teori ini dibangun oleh tiga orang, Kurt Koffka, Max Wertheimer, and
Wolfgang Köhler. Mereka menyimpulkan bahwa seseorang cenderung mempersepsikan
apa yang terlihat dari lingkungannya sebagai kesatuan yang utuh.
Gagasan pokok dari teori Gestalt yaitu pengelompokan
(grouping). Pentingnya grouping dijelaskan melalui hukum gestalt:
a. Proximity, kedekatan, objek yang berdekatan satu sama lain
cenderung mengelompok
b. Symmetry,
simetri, atau similarity, kesamaan, makin mirip suatu objek makin cendeung mereka
mengelompok.
c. Good
continuation, kesinambungan,
objek yang membentuk garis sambung cenderung mengelmpok. (Suryono dan Haryanto,
2012:80)
Implementasi teori Gestalt dalam pembelajaran antara lain
pada pengembangan konsep:
1) Pengalaman tilikan (insight),
tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku.kemampuan tilikan adalah,
kemampuan mengenai keterkaitan unsure-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
2) Pembelajaran bermakna (meaningful
learning), kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan
tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas hubungan suatu unsure akan makin
makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam pemecahan
masalah (problem solving), khususnya dalam identifikasi masalah dan alternatif
pemecahannya.
3) Perilaku bertujuan (Purposive
Behavior), maknannya perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya
terjadi sebagai akibat hubungan S-R, tetapi ada keterkaitannya dengan tujuan
yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta
didik mengenal tujauan yang ingin dicapainya.
4) Prinsip ruang hidup (life
space), bahwa prilaku individu memenuhi keterkaitan dengan lingkungan
dimana ia berada. Materi pembelajaran hendaknya memilki keterkaitan mengenai
situasi dan kondisi dengan tempat siswa tinggal dan hidup. Konsep ini
dikembangkan oleh Lewin.
5) Transfer dalam belajar, pemindahan pola-pola perilaku
dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi yang lain. Transfer belajar
dijalankan melepaskan pengertian
objekdari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian
menempatkannya dalam suatu konfigurasi lain dalam tata susunan yang tepat.
Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap
prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk
kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain.
2. Teori Belajar Kognitif dari Kurt Lewin
Bertolak dari
penemuan Gestalt psychology, Kurt
Lewin (1892-1947) menembangkan suatu teori belajar cognitifve field (medan kognitif) dengan menaruh perhatian kepada
kepribadian dan psikologi sosial. Lewin memandang masing-masing individu berada
di dalam suatu medan kekuatan yang bersifat psikologis. Medan kekuatan
psikologis di mana individu bereaksi disebut life space (Wasty Soemanto, 2012: 29).
Dalam ruang
hidup, siswa memilki tujuan yang ingin dicapai, didorong oleh motif hidupnya,
sehingga ia berupaya melakukan sesutu untuk mencapai tujuan itu. Akan tetapi,
selalu ada hambatan yang merintangi. Bila ia mampu mengatasi hambatan dan dapat
mencapai tujuan itu, maka ia akan memasuki medan kognitif baru, yang di
dalamnya berisi tujuan yang baru pula, dan dia akan berusaha lagi untuk
mengatasi hambatan baru itu, demikian seterusnya pola belajar itu berlangsung
sepanjang hayat. (Suyono dan Haryanto 2012:81). Hal ini tergambar sebagai
berikut:
Source: Ruang hidup menurut Kurt Lewin. Sukmadinata (dalam Suyono, 2012: 81) |
3. Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Bruner.
Berbeda dengan
Piaget, Burner melihat perkembangan kognitif manusia berkaitan dengan
kebudayaan. Bagi Bruner, perkembangan kognitif seseorang sangat dipengaruhi
oleh lingkungan kebudayaan, terutama bahasa yang biasanya digunakan.
Untuk menguatkan pendapatnya, Bruner membagi tiga
tahap perkembangan kognitif seseorang yang ditentukan oleh caranya melihat
lingkungan (Budiningsih, Asri C. 2012:
41-42, yakni:
a. Tahap Enaktif: seseorang melakukan
aktifitas-aktifitas dalam upayanya memahami lingkungan sekitarnya. Artinya
dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya
melalui gigitan, pegangan, sentuhan dan sebagainya.
b. Tahap Ikonik: seseorang memahami objek-objek
atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya dalam
memahami dunia sekitarnya anak belajar melaui bentuk perumpamaan (tampil) dan
perbandingan (komparasi)
c. Tahap Simbolik: seseorang telah mampu meiliki
ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya
dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melaui
symbol-simbol bahasa, logika, matematika dan sebagainya. Komunikasinya
dilakukan dengan menggunakan banyak sistem simbol. Semakin matang seseorang
dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Meskipun begitu tidak berarti ia tidak menggunakan
sistem enaktif dan ikonik. Penggunaan media dalam pembelajaran merupakan salah
satu bukti masih diperlukan sistem enaktif dan ikonik dalam proses pembelajaran.
Menurut Bruner untuk
mengajar sesuatu tidak usah ditunggu sampai anak mancapai tahap perkembangan
tertentu. Yang penting bahan pelajaran harus ditata dengan baik maka dapat
diberikan padanya. Dengan lain perkataan perkembangan kognitif seseorang dapat
ditingkatkan dengan jalan mengatur bahan yang akan dipelajari dan menyajikannya
sesuai dengan tingkat perkembangannya. Penerapan teori Bruner yang terkenal
dalam dunia pendidikan adalah kurikulum spiral dimana materi pelajaran yang
sama dapat diberikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan tinggi
disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif mereka. Cara belajar
yang terbaik menurut Bruner ini adalah dengan memahami konsep, arti dan
hubungan melalui proses intuitif kemudian dapat dihasilkan suatu kesimpulan. (discovery learning).
4. Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Ausebel
Yang memandang bahwa
Proses belajar terjadi jika siswa mampu mengasimilasikan pengetahuan yang
dimilikinya dengan pengetahuan baru, yang dimana Proses belajar terjadi melalui
tahap-tahap:
a. Memperhatikan
stimulus yang diberikan
b. Memahami
makna stimulus menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.
Ausubel mengawali teorinya dengan
melakukan kritik terhadap teori pembelajaran menurut konsep neobehaviorisme,
karyanya difokuskan kepada pembelajaran verbal (verbal learning). Teorinya terkait dengan sifat-sifat makna. Dan
ia percaya bahwa dunia luar (external
world) akan memberikan makna terhadap pembelajaran hanya jika berbagi
konsep yang berasal dari dunia luar itu telah mampu diubah menjadi kerangka isi (content of consciousness) oleh siswa (Suyono dan Hariyanto, 2012:
100).
Makna diciptakan
melalui beberapa bentuk hubungan ekuivalen antara bahasa (symbol) dan konteks
mental yang melibatkan dua proses
(Suyono dan Haryanto. 2012:101):
1) Resepsi,
yang ditimbulkan melalui pembelajaran verbal yang bermakna
2) Penemuan,
yang terlibat dalam pembentukan konsep dan pemecahan masalah
Terdapat
kunci pandangan Ausubel adalah sebagai berikut:
a) Teori Subsumsi (Subsumption
Theory).
Menggolong-golongkan secara hierarkis. Melakukan
subsumsi berarti menjalinkan suatu materi baru (dalam hal ini pengetahuan)
kedalam struktur kognitif seseorang. Materi baru dapat disubsumsi dalam dua
cara yakni:
- Subsumsi korelatif; pengetahuan baru merupakan
perluasan atau elaborasi dari pengetahuan yang sudah diketahui
- Subsumsi derivatif; pengetahuan baru yang hubungan
antara pengetahuan baru dengan yang sudah ada.
b) Advance Organizer
Advance Organizer adalah perangkat
atau suatu pembelajatan mental yang bertujuan membantu siswa di dalam
mengintegrasikan pengetahuan baru dengan pengetahuan terdahulu, mengarah pada
pembelajaran bermakna sebagai lawan dari pembelajaran dengan cara menghafal (rote memorization). Artinya Advance Organizer menyiapkan struktur
kognitif pembelajaran jika terjadi pengalaman belajar.
Menurut Ausubel siswa
akan belajar dengan baik jika isi pelajarannya didefinisikan dan kemudian dipresentasikan
dengan baik dan tepat kepada siswa (advanced
organizer), dengan demikian akan mempengaruhi pengaturan kemampuan belajar
siswa. Advanced organizer adalah
konsep atau informasi umum yang mewadahi seluruh isi pelajaran yang akan
dipelajari oleh siswa.
Advanced organizer memberikan tiga manfaat yaitu : Menyediakan suatu kerangka konseptual
untuk materi yang akan dipelajari. Berfungsi sebagai jembatan yang
menghubungkan antara yang sedang dipelajari dan yang akan dipelajari. Dapat
membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah.
5. Teori Belajar dari Robert M. Gagne
Menurut Gagne, dalam pembelajaran
terjadi proses penerimaan informasi, ntuk diolah sehingga mnghasilkan keluaran
dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjdi interaksi antara
kondisi nternal dan kondisi eksternal individu. Kondisi internal adalah keadaan
dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar an proses
kognitif yang terjadi didalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah
ransangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Gagne mengemukakan 8 (delapan)
macam tipe belajar yang membentuk suatu hierarki belajar dari yang paling
sederhana sampai dengan yang paling rumit.
Tahapan proses pembelajaran tersebut yaitu:
a. Motivasi
b. Pemahaman
c. Pemerolehan
d. Penyimpanan
e. Pengingatan kembali
f. Generalisasi
g. Perlakuan dan
h. Umpan balik
Mengajar terdiri dari sejumlah
kejadian-kejadian tertentu yang menurut Gagne terkenal dengan “Nine instructional events” atau
Sembilan kondisi intruksional yang dapat diuraikan sebagaiberikut: :
1) Gain attention (memelihara perhatian)
Dengan
stimulus ekster kita berusaha membangkitkan perhatian dan motivasi siswa untuk
belajar.
2) Inform learners
of objectives (penjelasan tujuan
pembelajaran)
Menjelaskan
kepada murid tujuan dan hasil apa yang diharapkan setelah belajar. Ini dilakukan
dengan komunikasi verbal.
3) Stimulate recall
of prior learning (merangsang murid)
Merangsang
murid untuk mengingat kembali konsep, aturan dan keterampilan yang merupakan
prasyarat agar memahami pelajaran yang akan diberikan.
4) Present the
content (menyajikan stimulus)
Menyajikan
stimuli yang berkenaan dengan bahan pelajaran sehingga murid menjadi lebih siap
menerima pelajaran.
5) Provide
"learning guidance"
(memberikan bimbingan)
Memberikan
bimbingan kepada murid dalam proses belajar
6) Elicit
performance /practice (pemantapan apa yang
dipelajari)
Memantapkan
apa yang dipelajari dengan memberikan latihan-latihan untuk menerapkan apa yang
telah dipelajari itu.
7) Provide feedback (memberikan feedback)
Memberikan feedback atau balikan
dengan memberitahukan kepada murid apakah hasil belajarnya benar atau tidak.
8) Assess
performance (menilai hasil
belajar)
Menilai
hasil-belajar dengan memberikan kesempatan kepada murid untuk mengetahui apakah
ia telah benar menguasai bahan pelajaran itu dengan memberikan beberapa soal.
9) Enhance
retention and transfer to the job
(mengusahakan transfer)
Mengusahakan
transfer dengan memberikan contoh-contoh tambahan untuk menggeneralisasi apa
yang telah dipelajari itu sehingga ia dapat menggunakannya dalam
situasi-situasi lain.
Dalam mengajar hal di atas dapat terjadi sebagian atau
semuanya, Proses belajar sendiri terjadi antara peristiwa nomor 5 dan 6.
Peristiwa-peristiwa itu digerakkan dan diatur dengan perantaraan komunikasi verbal yakni guru mengatakan kepada
murid apa yang harus dilakukannya (Suyono dan Haryanto 2012:92-93).
Implementasi Teori Kognitif terhadap Pembelajaran
Implementasi proses pembelajaran di
kelas perlu diterapkan model pembelajaran yang membuat siswa aktif, kreatif,
efektif, dan menyenangkan dapat tercapai.
Hakekat belajar menurut teori Kognitif dijelaskan sebagai aktifitas belajar
yang berkaitan dengan penataan informasi, teorganisasi perseptual, dan proses
internal. Kegiatan pembelajaran yang berpijak pada teori belajar kognitif ini
sudah banyak digunakan. Dalam merumuskan tujuan pembelajaran, mengemabangkan
strategi dan tujuan pembelajaran, tidak lagi mekanistik sebagaimana yang
dilakukan dalam pendekatam behavioristik. Kebebasan dan keterlibatan siswa
secara aktif dalam proses belajar amat di perhitungkan, agar belajar lebih
bermakna bagi siswa. Sedangkan menurut Budiningsih (2012: 48-49) kegiatan pembelajaran mengikuti prinsip-prinsip antara
lain sebagai berikut:
a. Siswa
bukan sebagai orang dewasa yang muda dalam prosesberpikirnya. Mereka mengalami
perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu.
b. Anak
usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik,
terutama jika menggunakan benda-benda kongkrit.
c. Keterlibatan
siswa dalam belajar amat dipentingkan, karena hanya dengan mengaktifkan siswa
maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi
dengan baik.
d. Untuk
menarik minat dan meningkatkan resensi belajar perlu mengkaitkan pengalaman
atau informasi baru dengan setruktur kognitif yang telah dimiliki si belajar.
e. Pemahaman
dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan menggunakan
pola logika tertentu dari sederhana ke kongkrif
f. Belajar
memahami akan lebih bermakna dari pada belajar menghafal. Agar bermakna,
informasi baru harus di sesuaikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah
dimiliki siswa.tugas guru adalah menunjukan hubungan antara apa yang sedang
dipelajari dengan dengan apa yang telah diketahui siswa.
g. Adanya
perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini
sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Perbedaan tersebut misalnya
pada motivasi, persepsi kemampuan berpikir, pengetahuan awal dan sebagainya.
Kelebihan dan Kelemahan Teori Kognitivisme
1.
Kelebihannya
Menjadikan
siswa lebih kreatif dan mandiri; membantu siswa memahami bahan belajar secara
lebih mudah.
2.
Kekurangannya
Teori tidak menyeluruh untuk semua tingkat pendidikan;
sulit di praktikkan khususnya di tingkat lanjut; beberapa prinsip seperti
intelegensi sulit dipahami dan pemahamannya masih belum tuntas.
C. Teori
Belajar Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah filosofi pembelajaran yang dilandasi premis bahwa
dengan merefleksikan pengalaman, kita membangun, mengkontruksi pengetahuan
pemahaman kita tentang dunia tempat kita hidup. Konstruktivisme melandasi suatu
pemikiran bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang given dari alam karena hasil kontak manusia dengan alam itu
sendiri, namun pengetahuan merupakan konstruksi atau bentukan aktif dari
manusia itu sendiri. Maka dapat dikatakan bahwa pengetahuan individu adalah
fungsi dari pengalaman sebelumnya, juga struktur mentalnya yang kemudian
digunakan untuk untuk menterjemahkan objek-objek serta kejadian-kejadian baru.
Seorang ilmuan dari Italy bernama Giambatista Vico tahun 1710 mengatakan
bahwa “mengetahui berarti mengetahui
bagaimana membuat sesuatu”. Hal ini berarti bahwa seseorang bisa dikatakan
mengetahui sesuatu apabila ia dapat menjelaskan unsur-unsur yang membangun
sesuatu tersebut. Lebih jelasnya lagi bahwa ketika seseorang mengalami sesuatu
beberapa kali yang berkaitan dengan struktur kognitif, maka kemudian diolah
melaui proses berpikir (process of mind)
tentang apa sesungguhnya sesuatu itu. Jadi sesuatu telah diketahui karena telah
dikonstruksikan oleh pikiran seseorang tersebut. Sesuatu tersebut membentuk
skema, kategori, konsep, dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk
pengetahuan (Bettencourt, 1989 dalam Suparno, 1997: 18).
Para ahli yang berkecimpung dalam aliran ini antara lain Bruner, Ulrick,
Neiser, Goodman, Kant, Kuhn, Dewey, dan Habermas. Namun yang berperan besar
yaitu karya dari Jean Piaget, yang kemudian diterjemahkan dan dikembangkan oleh
Ernst von Glasersfeld. Asumsi-asumsi dasar yang ada dalam aliran
konstruktivisme seperti yang diungkapkan Merril (1991) adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan dikontruksikan melalui pengalaman;
2. Belajar adalah penafsiran personal tentang dunia nyata;
3. Belajar adalah proses aktif dimana makna dikembangkan
berdasarkan pengalaman;
4. Pertumbuhan konseptual berasal dari negosiasi makna,
saling berbagi tentang perspektif ganda dan pengubahan representasi mental
melalui pembelajaran kolaboratif;
5. Belajar dapat dilakukan dalam setting nyata, ujian dapat
diintegrasikan dengan tugas-tugas dan tidak merupakan aktivitas yang terpisah
(penilaian autentik).
Teori Konstruktivisme Menurut Para Ahli
1. Teori Konstruktivisme
Piaget
Teori Piaget berlandaskan pada gagasan bahwa perkembangan anak bermakna
membangun struktur kognitifnya atau peta mentalnya yang diistilahkan “schema/skema”, atau konsep jejaring
untuk memahami dan menanggapi pengalaman fisik dalam lingkungan di
sekelilingnya (Suyono, 2012: 107). Menurut teori skema, seluruh pengetahuan
diorganisasikan menjadi unit-unit (skemata pengetahuan) yang di dalamnya tersimpan
informasi. Skema dapat dimaknai sebagai suatu deskripsi umum atau suatu sistem
konseptual untuk memahami pengetahuan tentang bagaimana pengetahuan itu
dinyatakan atau diterapkan.
Menurut teori konstriktivisme, pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu
saja kapada siswa. Hal ini diartikan bahwa siswa harus berperan aktif secara
mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang
dimilikinya. Tasker (1992: 30) seperti yang dikutip Hamzah (2008) mengemukakan
tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme yaitu:
a. Peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara
bermakna;
b. Pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam
pengkonstruksian secara bermakna;
c. Mengaitkan gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Berkaitan dengan upaya implementasi teori belajar konstruktivisme, Tyler
(1996) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran,
antara lain:
a. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan
gagasan dalam bahasanya sendiri;
b. Memberikan kesempatan pada siswa untuk berpikir tentang
pengalamannya sehingga menjadi lebih reatif dan imajinatif;
c. Memberi kesempatan pada siswa untuk mencoba gagasan baru;
d. Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang
telah dimiliki siswa;
e. Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan
mereka;
f. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dampak teori konstruktivisme Piaget terhadap pembelajaran:
Kurikulum
Pendidik harus
merencanakan kurikulum yang berkembang sesuai dengan peningkatan logika dan pertumbuhan
konseptual anak.
Pengajar
Guru harus lebih
menekankan pentingnya peran pengalaman bagi anak, atau interaksi anak dengan
lingkungan sekelilingnya.
2. Teori Konstruktivisme
Vigotsky
Ratumanan (2004:45) mengemukakan bahwa karya Vygotsky didasarkan pada dua
ide utama. Pertama, perkembangan intelektual dapat dipahami hanya bila ditinjau
dari konteks historis dan budaya pengalaman anak. Kedua, perkembangan
bergantung pada sistem-sistem isyarat mengacu pada simbol-simbol yang
diciptakan oleh budaya untuk membantu orang berfikir, berkomunikasi dan
memecahkan masalah, dengan demikian
perkembangan kognitif anak mensyaratkan sistem komunikasi budaya dan belajar menggunakan
sistem-sistem ini untuk menyesuaikan
proses-proses berfikir diri sendiri.
Menurut Slavin (Ratumanan,
2004:49) ada dua implikasi utama teori
Vygotsky dalam pendidikan. Pertama, dikehendakinya setting kelas berbentuk
pembelajaran kooperatif antar kelompok-kelompok siswa dengan kemampuan yang
berbeda, sehingga siswa dapat berinteraksi dalam mengerjakan tugas-tugas yang
sulit dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif
di dalam daerah pengembangan terdekat/proksimal masing-masing.Kedua, pendekatan
Vygotsky dalam pembelajaran menekankan perancahan (scaffolding). Dengan
scaffolding, semakin lama siswa semakin dapat mengambil tanggungjawab untuk
pembelajarannya sendiri.
a. Pengelolaan pembelajaran
Interaksi sosial
individu dengan lingkungannya sengat mempengaruhi perkembanganbelajar
seseorang, sehingga perkemkembangan sifat-sifat dan jenis manusia akan
dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut. Menurut Vygotsky dalam Slavin (2000),
peserta didik melaksanakan aktivitas belajar melalui interaksi dengan orang
dewasa dan teman sejawat yang mempunyai kemampuan lebih. Interaksi sosial ini
memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual peserta
didik.
b. Pemberian bimbingan
Menurut Vygotsky,
tujuan belajar akan tercapai dengan belajar menyelesaikan tugas-tugas yang
belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah
perkembangan terdekat mereka (Wersch,1985), yaitu tugas-tugas yang terletak di
atas peringkat perkembangannya. Menurut Vygotsky, pada saat peserta didik
melaksanakan aktivitas di dalam daerah perkembangan terdekat mereka, tugas yang
tidak dapat diselesaikan sendiri akan dapat mereka selesaikan dengan bimbingan
atau bantuan orang lain.
0 comments:
Post a Comment