Wednesday, May 16, 2018

Teori Belajar



Teori Belajar

Teori Belajar


                Teori belajar banyak dikemukakan oleh para ahli untuk menjabarkan tentang pengertian belajar dari berbagai sudut pandang dan tujuannya. Berikut ini adalah beberapa teori belajar yang umum digunakan sebagai landasan teori dalam kegiatan pembelajaran.

Teori Belajar

A. Teori Belajar Behaviorisme

Menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan, yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Slameto, 2003: 2). Dalam Sardiman A.M (2005: 20), Cronbach memberikan definisi, Learning is shown by a change in behavior as a result of experience.” (Belajar adalah memperlihatkan perubahan dalam perilaku sebagai hasil dari pengalaman. Kemudian menurut Hilgard (1962), “Belajar adalah proses muncul atau berubahnya suatu perilaku karena adanya respon terhadap situasi”.
Para ahli behaviorisme berpendapat bahwa belajar adalah sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus (S) dengan respon (R) (Suyono dan Hariyanto, 2012: 59). Menurut teori ini dalam belajar yang paling penting adalah adanya input berupa stimulus dan output berupa respon. Belajar akan lebih berhasil apabila respon siswa terhadap stimulus diikuti dengan rasa senang dan kepuasan (Hamdani, 2011: 288). Para ahli yang mengembangkan teori ini antara lain  E.L Thorndike, Ivan Pavlov, B.F Skinner, J.B. Watson, Clark Hull dan Edwin Guthrie. Skinner beranggapan bahwa perilaku manusia yang dapat diamati secara langsung adalah akibat konsekuensi dari perbuatan sebelumnya (Semiawan, 2002: 3).
Behaviorisme menekankan apa yang dapat dilihat, yaitu tingkah laku, dan kurang memperhatikan apa yang terjadi di dalam pikiran karena tidak dapat dilihat (Aunurrahman, 2012: 39). Behaviorisme memandang pikiran sebagai “kotak hitam” dalam merespon rangsangan yang dapat diobservasi secara kuantitatif, sepenuhnya mengabaikan proses berpikir yang terjadi dalam otak (Hamdani, 2011: 63).
Aliran ini disebut dengan behaviorisme karena menekankan pada perlunya perilaku (behavior) yang dapat diamati. Ada beberapa ciri dari rumpun teori ini, yaitu: (1) mengutamakan unsur-unsur atau bagian kecil, (2) bersifat mekanistis, (3) menekankan peranan lingkungan, (4) mementingkan pembentukan respon, (5) menekankan pentingnya latihan (Suyono dan Hariyanto, 2012: 58). Namun ciri yang paling mendasar dari aliran ini adalah bahwa perubahan tingkah laku yang terjadi adalah berdasarkan paradigma S-R (Stimulus Respons), yaitu suatu proses yang memberikan respon tertentu terhadap sesuatu yang datang dari luar (Aunurrahman, 2012: 39).
Teori belajar behaviorisme tidak lepas dari sejumlah kritikan. Kritikan yang mendasar antara lain mempertanyakan kelayakan penggunaan hasil uji coba yang digunakan pada binatang serta keterbatasan-keterbatasan laboratorium. Apakah hasil penelitian proses belajar menyangkut S-R yang diperoleh dengan menggunakan binatang sebagai subjek uji coba dapat diterapkan pada manusia, sebab binatang yang berlainan species saja akan memberikan respon lain apabila diberi semacam stimula dan penguat (Aunurrahman, 2012: 43).
Kritikan terhadap teori belajar behaviorisme juga diarahkan pada sejauh mana faktor-faktor sosial dalam penelitian eksperimen di laboratorium tersebut diperhatikan. Sebagaimana diketahui bahwa proses belajar pada manusia bukan sesuatu yang berdiri sendiri, karena banyak faktor lingkungan yang turut memberi pengaruh terhadap kegiatan maupun hasil belajar. Demikian juga Nampak kecenderungan bahwa penelitian di laboratorium mengesampingkan faktor-faktor perkembangan seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Demikian keterbatasan-keterbatasan dari teori belajar behaviorisme yang diakui belum dapat mengungkap secara mendasar tentang proses belajar. Lebih-lebih pandangan behaviorisme yang terkesan mekanistik dan kaku dalam memandang kegiatan belajar yang dilihat sebagai perubahan tingkah laku.


B. Teori Belajar Kognitivisme


Banyak para ahli dan pimikir pendidikan yang kurang puas terhadap ungkapan para behavioris bahwa belajar sekedar hubungan antara stimulus dengan respon. Menurut mereka perilaku seseorang selalu didasrkan oleh kognitif, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana prilaku itu terjadi. Istilah kognitif tersendiri walau banyak di populerkan oleh Piaget dengan teori perkembangan kognitifnya, sebenarnya telah dikembangkan oleh Wilhelm Wundt (Bapak psikologi). Menurut Wundt kognitif adalah sebuah proses aktif dan kreatif yang bertujuan membangaun struktur melalui pengalaman-pengalaman. Wundt percaya bahwa pikiran adalah hasil kreasi para siswa yang aktif dan kreatif yang kemudian di simpan di dalam memori (DiVesta dalam Suyono, 2012: 73).
Akibat kuatnya pengaruh behaviorisme pada dunia pembelajaran, perubahan dari behaviorisme ke kognitivisme bukanlah perubahan yang linear, lurus dan serta merta. Namun terjadi perubahan dengan apa yang disebut revolusi kognitif. Revolusi kognitif adalah nama gerakan intelektual yang terjadi pada tahun 1950-an. Saat itu terjadi komunikasi dan reset antar disiplin yang intensif, yang esensinya tidak menyetujuai penerapan konsep behaviorisme yang mengabaikan proses mental atau pikiran itu. Komunikasi intens itu melibatkan sejumlah ahli psikologi, antropologi dan linguistik. Pelopor gerakan ini antara lain adalah Jerome Brunen, Donald Broadbent, Ulric Neisser, Noam Chomscy, Herbert Simon, dan Allen Newell (Suyono dan hariyanto, 2012: 74).
Terdapat lima gagasan pokok yang melandasi revolusi kognitif ini seperti dinyatakan oleh Steven Pinker (2002) dalam Suyono (2012:74), yaitu:
1.  Dunia mental (pikiran) dapat dibumikan pada dunia fisis melalui konsep-konsep tentang informasi, komputasi, dan umpan balik
2.  Pikiran tidak mungkin seperti papan tulis kosong karena papan tulis kosong tidak dapat berbuat apa-apa
3.  Suatu rentang yang tidak terbatas menyangkut prilaku dapat dibangkitkan oleh program gabungan tertentu di dalam pikiran
4. Mekanisme mental universal dasar timbulnya berbagai macam variasi tindakan lintas budaya
5.  Pikiran adalah suatu sistem kompleks yang tersusun dari bagian-bagian yang saling berinteraksi.

Teori Kognitivisme Menurut Para Ahli

1. Teori Kognitif Gestalt

Teori ini dimaknai sebagai kesatuan atau keseluruhan yang bermakna (a unified or meaningful whole). Pokok pandangan gestalt adalah bahwa objek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai suatu keseluruhan yang terorganisasi. Teori ini dibangun oleh tiga orang, Kurt Koffka, Max Wertheimer, and Wolfgang Köhler. Mereka menyimpulkan bahwa seseorang cenderung mempersepsikan apa yang terlihat dari lingkungannya sebagai kesatuan yang utuh.
Gagasan pokok dari teori Gestalt yaitu pengelompokan (grouping). Pentingnya grouping dijelaskan melalui hukum gestalt:
a.  Proximity, kedekatan, objek yang berdekatan satu sama lain cenderung mengelompok
b.   Symmetry, simetri, atau similarity, kesamaan, makin mirip suatu objek makin cendeung mereka mengelompok.
c.   Good continuation, kesinambungan, objek yang membentuk garis sambung cenderung mengelmpok. (Suryono dan Haryanto, 2012:80)
Implementasi teori Gestalt dalam pembelajaran antara lain pada pengembangan konsep:
1)  Pengalaman tilikan (insight), tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku.kemampuan tilikan adalah, kemampuan mengenai keterkaitan unsure-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
2)  Pembelajaran bermakna (meaningful learning), kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas hubungan suatu unsure akan makin makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam pemecahan masalah (problem solving), khususnya dalam identifikasi masalah dan alternatif pemecahannya.
3)  Perilaku bertujuan (Purposive Behavior), maknannya perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi sebagai akibat hubungan S-R, tetapi ada keterkaitannya dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujauan yang ingin dicapainya.
4)  Prinsip ruang hidup (life space), bahwa prilaku individu memenuhi keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Materi pembelajaran hendaknya memilki keterkaitan mengenai situasi dan kondisi dengan tempat siswa tinggal dan hidup. Konsep ini dikembangkan oleh Lewin.
5) Transfer dalam belajar, pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi yang lain. Transfer belajar dijalankan  melepaskan pengertian objekdari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkannya dalam suatu konfigurasi lain dalam tata susunan yang tepat. Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain.


2. Teori Belajar Kognitif dari Kurt Lewin

Bertolak dari penemuan Gestalt psychology, Kurt Lewin (1892-1947) menembangkan suatu teori belajar cognitifve field (medan kognitif) dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi sosial. Lewin memandang masing-masing individu berada di dalam suatu medan kekuatan yang bersifat psikologis. Medan kekuatan psikologis di mana individu bereaksi disebut life space (Wasty Soemanto, 2012: 29).
Dalam ruang hidup, siswa memilki tujuan yang ingin dicapai, didorong oleh motif hidupnya, sehingga ia berupaya melakukan sesutu untuk mencapai tujuan itu. Akan tetapi, selalu ada hambatan yang merintangi. Bila ia mampu mengatasi hambatan dan dapat mencapai tujuan itu, maka ia akan memasuki medan kognitif baru, yang di dalamnya berisi tujuan yang baru pula, dan dia akan berusaha lagi untuk mengatasi hambatan baru itu, demikian seterusnya pola belajar itu berlangsung sepanjang hayat. (Suyono dan Haryanto 2012:81). Hal ini tergambar sebagai berikut:

Teori Belajar
Source: Ruang hidup menurut Kurt Lewin. Sukmadinata (dalam Suyono, 2012: 81)


3. Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Bruner.

Berbeda dengan Piaget, Burner melihat perkembangan kognitif manusia berkaitan dengan kebudayaan. Bagi Bruner, perkembangan kognitif seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan kebudayaan, terutama bahasa yang biasanya digunakan.
Untuk menguatkan pendapatnya, Bruner membagi tiga tahap perkembangan kognitif seseorang yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan (Budiningsih, Asri C. 2012: 41-42, yakni:
a. Tahap Enaktif: seseorang melakukan aktifitas-aktifitas dalam upayanya memahami lingkungan sekitarnya. Artinya dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan, pegangan, sentuhan dan sebagainya.
b. Tahap Ikonik: seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melaui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi)
c. Tahap Simbolik: seseorang telah mampu meiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melaui symbol-simbol bahasa, logika, matematika dan sebagainya. Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak sistem simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Meskipun  begitu tidak berarti ia tidak menggunakan sistem enaktif dan ikonik. Penggunaan media dalam pembelajaran merupakan salah satu bukti masih diperlukan sistem enaktif dan ikonik dalam proses pembelajaran.
Menurut Bruner untuk mengajar sesuatu tidak usah ditunggu sampai anak mancapai tahap perkembangan tertentu. Yang penting bahan pelajaran harus ditata dengan baik maka dapat diberikan padanya. Dengan lain perkataan perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan jalan mengatur bahan yang akan dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya. Penerapan teori Bruner yang terkenal dalam dunia pendidikan adalah kurikulum spiral dimana materi pelajaran yang sama dapat diberikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan tinggi disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif mereka. Cara belajar yang terbaik menurut Bruner ini adalah dengan memahami konsep, arti dan hubungan melalui proses intuitif kemudian dapat dihasilkan suatu kesimpulan. (discovery learning). 

4. Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Ausebel

Yang memandang bahwa Proses belajar terjadi jika siswa mampu mengasimilasikan pengetahuan yang dimilikinya dengan pengetahuan baru, yang dimana Proses belajar terjadi melalui tahap-tahap:
a. Memperhatikan stimulus yang diberikan
b. Memahami makna stimulus menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.
Ausubel mengawali teorinya dengan melakukan kritik terhadap teori pembelajaran menurut konsep neobehaviorisme, karyanya difokuskan kepada pembelajaran verbal (verbal learning). Teorinya terkait dengan sifat-sifat makna. Dan ia percaya bahwa dunia luar (external world) akan memberikan makna terhadap pembelajaran hanya jika berbagi konsep yang berasal dari dunia luar itu telah mampu diubah  menjadi kerangka isi (content of consciousness) oleh siswa (Suyono dan Hariyanto, 2012: 100).
Makna diciptakan melalui beberapa bentuk hubungan ekuivalen antara bahasa (symbol) dan konteks mental yang melibatkan dua proses (Suyono dan Haryanto. 2012:101):
1)  Resepsi, yang ditimbulkan melalui pembelajaran verbal yang bermakna
2) Penemuan, yang terlibat dalam pembentukan konsep dan pemecahan masalah
               Terdapat kunci pandangan Ausubel adalah sebagai berikut:
a) Teori Subsumsi (Subsumption Theory).
Menggolong-golongkan secara hierarkis. Melakukan subsumsi berarti menjalinkan suatu materi baru (dalam hal ini pengetahuan) kedalam struktur kognitif seseorang. Materi baru dapat disubsumsi dalam dua cara yakni:
-   Subsumsi korelatif; pengetahuan baru merupakan perluasan atau elaborasi dari pengetahuan yang sudah diketahui
-   Subsumsi derivatif; pengetahuan baru yang hubungan antara pengetahuan baru dengan yang sudah ada.
b) Advance Organizer
Advance Organizer adalah perangkat atau suatu pembelajatan mental yang bertujuan membantu siswa di dalam mengintegrasikan pengetahuan baru dengan pengetahuan terdahulu, mengarah pada pembelajaran bermakna sebagai lawan dari pembelajaran dengan cara menghafal (rote memorization). Artinya Advance Organizer menyiapkan struktur kognitif pembelajaran jika terjadi pengalaman belajar.
Menurut Ausubel siswa akan belajar dengan baik jika isi pelajarannya didefinisikan dan kemudian dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa (advanced organizer), dengan demikian akan mempengaruhi pengaturan kemampuan belajar siswa. Advanced organizer adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi seluruh isi pelajaran yang akan dipelajari oleh siswa.
Advanced organizer memberikan tiga manfaat yaitu : Menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi yang akan dipelajari. Berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara yang sedang dipelajari dan yang akan dipelajari. Dapat membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah.

5. Teori Belajar dari Robert M. Gagne

Menurut Gagne, dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, ntuk diolah sehingga mnghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjdi interaksi antara kondisi nternal dan kondisi eksternal individu. Kondisi internal adalah keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar an proses kognitif yang terjadi didalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah ransangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.   
Gagne mengemukakan 8 (delapan) macam tipe belajar yang membentuk suatu hierarki belajar dari yang paling sederhana sampai dengan yang paling rumit.  Tahapan proses pembelajaran tersebut yaitu:
a. Motivasi
b. Pemahaman
c. Pemerolehan
d. Penyimpanan
e. Pengingatan kembali
f.  Generalisasi
g. Perlakuan dan
h. Umpan balik

Mengajar terdiri dari sejumlah kejadian-kejadian tertentu yang menurut Gagne terkenal dengan “Nine instructional events” atau Sembilan kondisi intruksional yang dapat diuraikan sebagaiberikut: :
1) Gain attention (memelihara perhatian)
Dengan stimulus ekster kita berusaha membangkitkan perhatian dan motivasi siswa untuk belajar.
2) Inform learners of objectives (penjelasan tujuan pembelajaran)
Menjelaskan kepada murid tujuan dan hasil apa yang diharapkan setelah belajar. Ini dilakukan dengan komunikasi verbal.
3) Stimulate recall of prior learning (merangsang murid)
Merangsang murid untuk mengingat kembali konsep, aturan dan keterampilan yang merupakan prasyarat agar memahami pelajaran yang akan diberikan.
4) Present the content (menyajikan stimulus)
Menyajikan stimuli yang berkenaan dengan bahan pelajaran sehingga murid menjadi lebih siap menerima pelajaran.
5) Provide "learning guidance" (memberikan bimbingan)
Memberikan bimbingan kepada murid dalam proses belajar
6) Elicit performance /practice (pemantapan apa yang dipelajari)
Memantapkan apa yang dipelajari dengan memberikan latihan-latihan untuk menerapkan apa yang telah dipelajari itu.
7) Provide feedback (memberikan feedback)
Memberikan feedback atau balikan dengan memberitahukan kepada murid apakah hasil belajarnya benar atau tidak.
8) Assess performance (menilai hasil belajar)
Menilai hasil-belajar dengan memberikan kesempatan kepada murid untuk mengetahui apakah ia telah benar menguasai bahan pelajaran itu dengan memberikan beberapa soal.
9) Enhance retention and transfer to the job (mengusahakan transfer)
Mengusahakan transfer dengan memberikan contoh-contoh tambahan untuk menggeneralisasi apa yang telah dipelajari itu sehingga ia dapat menggunakannya dalam situasi-situasi lain.
Dalam mengajar hal di atas dapat terjadi sebagian atau semuanya, Proses belajar sendiri terjadi antara peristiwa nomor 5 dan 6. Peristiwa-peristiwa itu digerakkan dan diatur dengan perantaraan komunikasi verbal yakni guru mengatakan kepada murid apa yang harus dilakukannya (Suyono dan Haryanto 2012:92-93).

Implementasi Teori Kognitif terhadap Pembelajaran

Implementasi proses pembelajaran di kelas perlu diterapkan model pembelajaran yang membuat siswa aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan dapat tercapai. Hakekat belajar menurut teori Kognitif dijelaskan sebagai aktifitas belajar yang berkaitan dengan penataan informasi, teorganisasi perseptual, dan proses internal. Kegiatan pembelajaran yang berpijak pada teori belajar kognitif ini sudah banyak digunakan. Dalam merumuskan tujuan pembelajaran, mengemabangkan strategi dan tujuan pembelajaran, tidak lagi mekanistik sebagaimana yang dilakukan dalam pendekatam behavioristik. Kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat di perhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi siswa. Sedangkan menurut Budiningsih (2012: 48-49) kegiatan pembelajaran mengikuti prinsip-prinsip antara lain sebagai berikut:
a.  Siswa bukan sebagai orang dewasa yang muda dalam prosesberpikirnya. Mereka mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu.
b.  Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik, terutama jika menggunakan benda-benda kongkrit.
c.  Keterlibatan siswa dalam belajar amat dipentingkan, karena hanya dengan mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
d.  Untuk menarik minat dan meningkatkan resensi belajar perlu mengkaitkan pengalaman atau informasi baru dengan setruktur kognitif yang telah dimiliki si belajar.
e.  Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola logika tertentu dari sederhana ke kongkrif
f.  Belajar memahami akan lebih bermakna dari pada belajar menghafal. Agar bermakna, informasi baru harus di sesuaikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa.tugas guru adalah menunjukan hubungan antara apa yang sedang dipelajari dengan dengan apa yang telah diketahui siswa.
g.  Adanya perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Perbedaan tersebut misalnya pada motivasi, persepsi kemampuan berpikir, pengetahuan awal dan sebagainya.

Kelebihan dan Kelemahan Teori Kognitivisme

1.      Kelebihannya
Menjadikan siswa lebih kreatif dan mandiri; membantu siswa memahami bahan belajar secara lebih mudah.
2.      Kekurangannya
Teori tidak menyeluruh untuk semua tingkat pendidikan; sulit di praktikkan khususnya di tingkat lanjut; beberapa prinsip seperti intelegensi sulit dipahami dan pemahamannya masih belum tuntas.

C. Teori Belajar Konstruktivisme

Konstruktivisme adalah filosofi pembelajaran yang dilandasi premis bahwa dengan merefleksikan pengalaman, kita membangun, mengkontruksi pengetahuan pemahaman kita tentang dunia tempat kita hidup. Konstruktivisme melandasi suatu pemikiran bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang given dari alam karena hasil kontak manusia dengan alam itu sendiri, namun pengetahuan merupakan konstruksi atau bentukan aktif dari manusia itu sendiri. Maka dapat dikatakan bahwa pengetahuan individu adalah fungsi dari pengalaman sebelumnya, juga struktur mentalnya yang kemudian digunakan untuk untuk menterjemahkan objek-objek serta kejadian-kejadian baru.
Seorang ilmuan dari Italy bernama Giambatista Vico tahun 1710 mengatakan bahwa “mengetahui berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu”. Hal ini berarti bahwa seseorang bisa dikatakan mengetahui sesuatu apabila ia dapat menjelaskan unsur-unsur yang membangun sesuatu tersebut. Lebih jelasnya lagi bahwa ketika seseorang mengalami sesuatu beberapa kali yang berkaitan dengan struktur kognitif, maka kemudian diolah melaui proses berpikir (process of mind) tentang apa sesungguhnya sesuatu itu. Jadi sesuatu telah diketahui karena telah dikonstruksikan oleh pikiran seseorang tersebut. Sesuatu tersebut membentuk skema, kategori, konsep, dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan (Bettencourt, 1989 dalam Suparno, 1997: 18).
Para ahli yang berkecimpung dalam aliran ini antara lain Bruner, Ulrick, Neiser, Goodman, Kant, Kuhn, Dewey, dan Habermas. Namun yang berperan besar yaitu karya dari Jean Piaget, yang kemudian diterjemahkan dan dikembangkan oleh Ernst von Glasersfeld. Asumsi-asumsi dasar yang ada dalam aliran konstruktivisme seperti yang diungkapkan Merril (1991) adalah sebagai berikut:
1.  Pengetahuan dikontruksikan melalui  pengalaman;
2.  Belajar adalah penafsiran personal tentang dunia nyata;
3. Belajar adalah proses aktif dimana makna dikembangkan berdasarkan pengalaman;
4. Pertumbuhan konseptual berasal dari negosiasi makna, saling berbagi tentang perspektif ganda dan pengubahan representasi mental melalui pembelajaran kolaboratif;
5. Belajar dapat dilakukan dalam setting nyata, ujian dapat diintegrasikan dengan tugas-tugas dan tidak merupakan aktivitas yang terpisah (penilaian autentik).

Teori Konstruktivisme Menurut Para Ahli

1. Teori Konstruktivisme Piaget

Teori Piaget berlandaskan pada gagasan bahwa perkembangan anak bermakna membangun struktur kognitifnya atau peta mentalnya yang diistilahkan “schema/skema”, atau konsep jejaring untuk memahami dan menanggapi pengalaman fisik dalam lingkungan di sekelilingnya (Suyono, 2012: 107). Menurut teori skema, seluruh pengetahuan diorganisasikan menjadi unit-unit (skemata pengetahuan) yang di dalamnya tersimpan informasi. Skema dapat dimaknai sebagai suatu deskripsi umum atau suatu sistem konseptual untuk memahami pengetahuan tentang bagaimana pengetahuan itu dinyatakan atau diterapkan.
Menurut teori konstriktivisme, pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja kapada siswa. Hal ini diartikan bahwa siswa harus berperan aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Tasker (1992: 30) seperti yang dikutip Hamzah (2008) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme yaitu:
a. Peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna;
b. Pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna;
c. Mengaitkan gagasan dengan informasi baru yang diterima.

Berkaitan dengan upaya implementasi teori belajar konstruktivisme, Tyler (1996) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, antara lain:
a. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasan dalam bahasanya sendiri;
b.  Memberikan kesempatan pada siswa untuk berpikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih reatif dan imajinatif;
c.  Memberi kesempatan pada siswa untuk mencoba gagasan baru;
d.  Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa;
e.   Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka;
f.    Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

Dampak teori konstruktivisme Piaget terhadap pembelajaran:

Kurikulum

Pendidik harus merencanakan kurikulum yang berkembang sesuai dengan peningkatan logika dan pertumbuhan konseptual anak.

Pengajar

Guru harus lebih menekankan pentingnya peran pengalaman bagi anak, atau interaksi anak dengan lingkungan sekelilingnya.  

2. Teori Konstruktivisme Vigotsky

Ratumanan (2004:45) mengemukakan bahwa karya Vygotsky didasarkan pada dua ide utama. Pertama, perkembangan intelektual dapat dipahami hanya bila ditinjau dari konteks historis dan budaya pengalaman anak. Kedua, perkembangan bergantung pada sistem-sistem isyarat mengacu pada simbol-simbol yang diciptakan oleh budaya untuk membantu orang berfikir, berkomunikasi dan memecahkan masalah, dengan demikian  perkembangan kognitif anak mensyaratkan sistem  komunikasi budaya dan belajar menggunakan sistem-sistem ini  untuk menyesuaikan proses-proses berfikir diri sendiri.
Menurut Slavin  (Ratumanan, 2004:49)  ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam pendidikan. Pertama, dikehendakinya setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar kelompok-kelompok siswa dengan kemampuan yang berbeda, sehingga siswa dapat berinteraksi dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam daerah pengembangan terdekat/proksimal masing-masing.Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan perancahan (scaffolding). Dengan scaffolding, semakin lama siswa semakin dapat mengambil tanggungjawab untuk pembelajarannya sendiri.

a. Pengelolaan pembelajaran
Interaksi sosial individu dengan lingkungannya sengat mempengaruhi perkembanganbelajar seseorang, sehingga perkemkembangan sifat-sifat dan jenis manusia akan dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut. Menurut Vygotsky dalam Slavin (2000), peserta didik melaksanakan aktivitas belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sejawat yang mempunyai kemampuan lebih. Interaksi sosial ini memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual peserta didik.

b. Pemberian bimbingan
Menurut Vygotsky, tujuan belajar akan tercapai dengan belajar menyelesaikan tugas-tugas yang belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah perkembangan terdekat mereka (Wersch,1985), yaitu tugas-tugas yang terletak di atas peringkat perkembangannya. Menurut Vygotsky, pada saat peserta didik melaksanakan aktivitas di dalam daerah perkembangan terdekat mereka, tugas yang tidak dapat diselesaikan sendiri akan dapat mereka selesaikan dengan bimbingan atau bantuan orang lain.


0 comments:

Post a Comment