Friday, October 22, 2021

Cara Meningkatkan Pendidikan

No comments     
categories: 

WAYS TO IMPROVE EDUCATION

Cara meningkatkan pendidikan antara lain dapat dilakukan dengan:

1.       Berhentilah melihat anak-anak kita sebagai angka

Melihat anak-anak sebagai sebuah angka disini adalah membedakan antara satu peserta didik dengan yang lainnya serta mengelompokkan mereka berdasarkan kemampuan kognitif mereka sehingga antara satu dengan yang lainnya kita sebagai guru cenderung membedakan dalam hal pemberian bimbingan belajar. Padahal mereka memiliki hak yang sama antara individu satu dengan yang lainnya. Selain itu, dunia pendidikan kita terkadang masih melihat kesuksesan belajar anak berdasarkan angka yang mereka raih. Padahal ada capaian lain yang mungkin dapat membawa mereka ke dalam kata “sukses belajar”.

2.       Pengujian yang kurang terstandarisasi

Pengujian atau sering kita sebut sebagai evaluasi kerap kali terlupakan begitu saja khususnya tentang standarisasinya. Guru kerap melakukan evaluasi dengan asal memberikan soal untuk dijawab siswa tanpa mempertimbangkan apakah evaluasi tersebut dapat mewakili dalam menilai prospek dan kemajuan belajar siswa, dengan kata lain tidak melihat standarisasi dari instrument-instrumen pengujiannya.

3.       Perkenalkan kembali kelas eksplorasi

Eksplorasi adalah tahapan pembelajaran di mana siswa diminta aktif menelaah dan mencaritemukan informasi suatu pengetahuan/konsep ilmu baru, tekhnik baru, metode dan rumus baru, atau menyelidiki pola hubungan antar unsur konsep ilmu, sambil berusaha memahaminya.  Inti kegiatan eksplorasi adalah pelibatan siswa dalam menelaah sesuatu hal baru, entah berhbubungan dengan materi pelajaran sebelumnya maupun yang benar-benar baru bagi siswa.

4.       Sediakan waktu membaca 30 menit

Globalisasi menjadi pengaruh besar dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan, baik positif atau negatif. Kita harus benar mengarahkan globalisasi dengan bijak agar memiliki dampak yang positif. Membaca saat ini menjadi kegiatan yang hampir terabaikan yang salah satunya justru dikarenakan oleh kemajuan teknologi itu sendiri. Seharusnya kita sebagai pendidik harus bisa mengarahkan kemajuan teknologi tersebut untuk memajukan kegiatan positif seperti membaca. Sebab kita tahu dengan semakin banyak kita membaca informasi semakin banyak pula ilmu pengetahuan yang kita dapat. Kaitannya dengan kemajuan teknologi maka dapat kita manfaatkan dengan cara membaca digital. Bisa juga kita manfaatkan perpustakaan sekolah yang mungkin lama tak terpakai. Tidak ada salahnya kita mulai kembali menghidupkan budaya membaca anak-anak kita agar mereka makin cerdas dan berwawasan luas.    

5.       Berikan lebih banyak dukungan

Selain sebagai fasilitator dalam pembelajaran, seorang guru harus bisa menjadi supporter belajar anak didiknya. Tidak tebang pilih dalam membimbing mereka dan mensupport mereka agar mereka merasa dipandang sama meski dalam kenyataannya berbeda. Dukungan menjadi stimulus yang penting agar dapat membangkitkan motivasi dan minat siswa terhadap kegiatan pembelajaran di kelas.

6.       Berikan guru lebih banyak waktu persiapan

Persipan yang matang menghasilkan sesuatu yang matang pula. Mengajar tidak seperti proses memindahkan air dari ember ke gelas yang kosong. Butuh persiapan maksimal seorang guru mengemas proses pembelajaran semenarik mungkin agar tercapai tujuan pembelajaran dan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Profesionalisme guru dipertanyakan di sini karena semakin kreatif dan inovatif seorang guru maka semakan professional pula guru tersebut. Seseorang pernah mengatakan, “semua orang bisa mengajar namun tidak semua bisa mendidik”. Maka, jadilah pendidik bukan hanya sekedar pengajar.

7.       Ukuran kelas yang lebih kecil

Hal ini hampir sama dengan pertanyaan “mengapa di kelas bimbel jumlah siswa dibatasi?”. Hal ini karena semakin sedikit siswa yang kita ajar, semakin fokus belajar siswa. Hal ini sama dengan kita meminimalisir terjadinya permasalahan-permasalahan yang timbul di kelas seperti kegaduhan, ketidak perhatian dan lain sebagainya yang mungkin dilakukan jika kuota suatu kelas semakin banyak.

8.       Menaikkan gaji guru

Ini yang perlu diperhatikan pemerintah Republik Indonesia. Gaji guru apalagi yang masih berstatus honorer masih amat sangat memprihatinkan. Tidak perlu kita bandingkan dengan negara lain, sebab negara yang maju adalah negara yang menjunjung tinggi dan memuliakan para guru. Kesejahteraan guru adalah penunjang profesionalisme mereka. Jadi jika ingin semua guru di Indonesia khususnya professional, maka naikkanlah gaji mereka, tingkatkan kesejahteraan mereka.


Sunday, October 17, 2021

Filsafat Ilmu dalam Sudut Pandang Epistimologi

No comments     
categories: ,
Filsafat Ilmu dalam Sudut Pandang Epistimologi
Filsafat Ilmu dalam Sudut Pandang Epistimologi

Filsafat Ilmu dalam sudut Pandang Epistimologi. Landasan Epistemologi ini ialah sudut pandang pengembangan ilmu dengan titik tolak penelaahan ilmu pengetahuan yang didasarkan atas metode/ prosedur serta kaidah bagaimana mendapatkan kebenaran. Yakni kaidah ilmiah guna memperoleh kebenaran pengetahuan. Secara garis besar dibedakan menjadi 2 yakni metode siklus empiris untuk ilmu pengetahuan alam serta metode linier untuk ilmu sosial. Metode siklus empiris ialah prosedur yang dikembangkan guna penyelidikan kebenaran pengetahuan ilmu- ilmu alam. Prosedur ini umumnya meliputi observasi, pelaksanaan prosedur induksi, eksperimen setelah itu verifikasi yang kemudian menghasilkan teori. Sebaliknya metode linear meliputi langkah-langkah diagnosa yakni penangkapan inderawi terhadap kenyataan. Kemudian disusun sebuah konsepsi serta terakhir ialah analisis yang mengahsilkan ramalan ataupun prediksi guna masa yang akan tiba.

Sebutan Epistemologi awal kali digunakan oleh J.F. Feriere (1854) dalam menarangkan diferensiasinya dengan ontologi. Kasus dalam epistemologi ini berkaitan dengan suatu yang dikenal. Secara etimologis Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, ialah Episteme yang berarti pengetahuan serta Logos yang berarti benak ataupun teori. Dengan demikian epistemologi secara bahasa bisa diartikan sebagai teori pengetahuan. Bahasa filsafat menyebutnya sebagai filsafat pengetahuan, logika material, kriteriologia, kritika pengetahuan serta gnoseologia. Objek epistemologi merupakan pengetahuan itu sendiri. Bagaimana pengetahuan tersebut diperoleh dan dari mana sumbernya. Secara sistematis epistemologi membicarakan makna pengetahuan, terbentuknya pengetahuan, jenis- jenis pengetahuan dan asal usulnya. Analoginya; kala manusia dilahirkan ia tidak dilengkapi dengan pengetahuan, setelah itu memiliki pengetahuan simpel serta pengetahuan tersebut meningkat terus bersamaan dengan bertambahnya umur, pengalaman serta sosioalisasi dan keahlian rasionalnya. Pengetahuan tiap- tiap orang berbeda- beda. Bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan serta hakekatnya ialah bahasan dalam epistemologi ini.

Sistematika epistemologi yang awal merupakan uraian terhadap arti pengetahuan itu sendiri. Sebutan pengetahuan ini mengorganisir sebagian faktor yang saling terpaut serta mengikat. Pengetahuan mengaitkan yang mengetahui, suatu yang dikenal serta pemahaman atas pengetahuan itu sendiri. Mundiri (2008) mensyaratkan adanya kepercayaan serta tiadanya keraguan dalam pengetahuan. Berkaitan dengan pengetahuan, tidak bisa dipisahkan dari alam pikiran. Sebab dengan pikiran (daerah kognitif) suatu pengetahuan dibentuk serta ditanamkan dalam jiwa, dengan demikian interrelasi antara benak serta pengetahuan ialah suatu keharusan fungsional serta kodrati. Suatu pikiran untuk bisa menciptakan serta menampung pengetahuan memiliki struktur yang tercipta dari sebagian faktor yang fungsional. Unsur- unsur tersebut yakni Mengamati (observation), Menyelidiki (Inquires), Yakin (believes), hasrat (desires), iktikad (intends), mengendalikan (organizes), membiasakan (adapts) serta menikmati (enjoys).

Pengetahuan yang terorganisir dalam alam pikiran manusia tidak terjalin begitu saja. Terwujudnya sesuatu pengetahuan bisa lewat pengalaman (a posteriori) maupun tanpa pengalaman (a priori). Dari 2 jalur tersebut bisa dibesarkan menjadi sebagian kaidah terbentuknya pengetahuan. John Hospers dalam Surajiyo (2008) menarangkan bahwasanya ada sebagian perihal yang mendasari terbentuknya pengetahuan. Sistematika terbentuknya pengetahuan bisa dipaparkan sebagai berikut (John Hospers):

1. Pengalaman Indera (Sense of Experience)

Indera ialah perlengkapan yang vital dalam diri manusia guna memperoleh pengetahuan dari luar diri manusia itu sendiri. Dalam filsafat ini diujarkan sebagai faham “realisme”. Bagi Aristoteles pengetahuan yang membekas dalam wilayah kognitif manusia ialah bekas- bekas sesuatu yang ditangkap oleh indera. Contoh: seorang mengenali jika api itu panas sebab ia sempat menyentuhnya. Ataupun gula itu manis sebab tadinya sempat mencicipinya. Kelemahan perspektif ini ialah apabila berlangsung ketidak normalan dalam indera itu sendiri, sehingga objek yang ditangkap tidak cocok dengan realitanya.

2. Nalar (Reason)

Kaidah terbentuknya pengetahuan ini ialah penggabungan dari 2 pemikiran ataupun lebih yang setelah itu dijadikan pengetahuan baru. Dalam kaidah ini ada sebagian perihal prinsipil yang wajib dicermati. Untuk menciptakan pengetahuan lewat nalar ini wajib menjajaki azaz- azaz pemikiran sebagai berikut;

  •  Principium identitas dimana konsep sesuatu itu tentu sama dengan sesuatu itu sendiri (X=X).
  • Principium Contrdictionis apabila ada pertentangan antara 2 komentar hingga bisa ditentukan tidak bisa jadi keduanya bersama benar dalam waktu bertepatan.
  • Principium tertii exclusi dalam pertentangan antara 2 komentar tidak hanya tidak mungkin keduanya sama- sama benar, serta tidak mungkin keduanya sama- sama salah. Maksudnya tentu ada kebenaran diantara keduanya. Dengan demikian tidak butuh ada komentar yang ketiga.

3. Otoritas (Authority)

Ialah kewenangan yang legal yang dipunyai oleh seorang dalam kelompoknya serta diakui oleh anggota kelompoknya. Otoritas ini bisa menjdi sumber pengetahuan sebab dengan otoritas tersebut anggota kelompok bisa memiliki pengetahuan lewat seorang yang memiliki kewibawaan dalam pengetahuannya. Umumnya pengetahuan tipe ini tidak butuh diuji coba sebab kewibawaan sumber pengetahuan tersebut.

4. Intuisi (Intuition)

Jiwa tiap manusia memiliki kemampuan keahlian untuk menciptakan pengetahuan tanpa lewat sistematika rasional maupun pengalaman. Pengetahuan ini berasal dari proses kejiwaan guna mengoptimalkan kemampuan kejiwaan dalam diri manusia sehingga sanggup menciptakan pengetahuan tanpa stimulus sebelumnya. Pengetahuan tipe ini tidak bisa dibuktikan seketika kebenarannya sebab pengetahuan ini lebih mengedepankan rasa dalam jiwa.

5. Wahyu (Revelation)

Terbentuknya pengetahuan dengan jalur wahyu ini bersumber pada kepercayaan/ keyakinan. Pengetahuan ini tidak mengedepankan rasionalitas, sebab pengetahuan tersebut diyakini bersumber dari tuhan dalam keyakinan tersebut.

6. Kepercayaan (Faith)

Nyaris sama dengan pengetahuan lewat wahyu, sebab keduanya berpangkal pada suatu keyakinan. Akan tetapi pengetahuan kepercayaan ini belum pasti diyakini dari tuhan. Dapat saja kepercayaan timbul begitu saja dalam diri seorang.

 

Memecahkan Masalah dengan Berpikir Kreatif

No comments     
categories: 

Memecahkan Masalah dengan Berpikir Kreatif. 5W1H (what, who, why, where, when, how) yang dicetuskan oleh Rudyard Kipling merupakan pertanyaan yang mengawali suatu permasalahan. Kita sadari bersama, tidak ada manusia yang tidak memiliki masalah dalam hidupnya. Masalah kerap datang pada waktu yang tak terduga, baik itu masalah kecil ataupun besar, masalah ringan ataupun berat. Oleh karenanya kita harus siap untuk memecahkan masalah demi masalah yang datang pada kita. Namun tak heran jika banyak orang yang lari dari masalah itu sendiri. Padahal lari dari permasalahan bukanlah jalan yang seharusnya kita tempuh karena untuk merubah suatu keadaan kita harus mau dan mampu menghadapi permasalahan yang ada, bukan dengan lari menghindarinya. Maka dapat disimpulkan sebenarnya memecahkan masalah adalah tugas kodrati seluruh umat manusia. 

Berpikir ialah keahlian spesial yang dipunyai manusia serta tidak dipunyai mahluk yang lain. Dalam kehidupan manusia, berpikir seolah menjadi suatu proses yang natural tanpa direncanakan. Tetapi sebetulnya proses berpikir yang kita jalani tiap hari ialah suatu proses yang rumit serta mengaitkan banyak komponen, oleh karenanya kita harus mampu melihatnya dalam perspektif kreatifitas dalam rangka memecahkan masalah-masalah yang ada. Memang tidak mudah bagi seseorang untuk memecahkan masalah dengan berpikir kreatif. Terkadang tidak menutup kemungkinan bagi kita menemui jalan buntuk jika suatu permasalahan datang menghampiri kita. Namun sebagai manusia yang berakal kita harus mampu menghadapi dan memecahkan masalah demi masalah yang ada dengan berpikir kreatif.

Menghidupkan kreatifitas berpikir pada diri seseorang memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Kita harus berlatih sesering mungkin agar terbiasa memecahkan masalah dengan berpikir kreatif, mungkin dari hal-hal kecil yang menghampiri kita atau dengan permasalahan-permasalahan kecil yang ada di lingkungan kita. Dalam memastikan kreatifitas berpikir seorang dibutuhkan beberapa komponen atau variabel. Penentuan kriteria berpikir kreatif ini setidaknya menyangkut 3 ukuran yakni ukuran proses, orang ataupun individu, serta produk kreatif (Amabile, 1983). 

Memakai atau menggunakan proses kreatif selaku kriteria kreativitas pertama, hingga seluruh produk yang dihasilkan dari proses itu dianggap sebagai produk kreatif, serta orangnya diucap selaku orang kreatif. Keberatan yang diajukan terhadap teori ini yakni, suatu yang dihasilkan dari proses berpikir kreatif tidak senantiasa dengan sendirinya bisa diucap sebagai produk kreatif. Kriteria ini tidak sering dipakai dalam riset (Supriadi, 1994: 13). Kriteria kedua yakni ukuran orang ataupun individu selaku kriteria kreativitas kerap kali kurang jelas rumusannya. Amabile (1983) berkata kalau penafsiran orang ataupun individu selaku kriteria kreativitas identik dengan yang dikemukakan Guilford (1950) disebut sebagai karakter kreatif. Karakter kreatif bagi Guilford meliputi ukuran kognitif (bakat) serta non-kognitif (atensi, perilaku, serta mutu inborn). Bagi teori ini, orang-orang kreatif mempunyai identitas karakter yang secara signifikan berbeda dengan orang-orang yang kurang kreatif. Karakteristik-karakteristik karakter ini jadi kriteria buat mengenali orang-orang kreatif. Orang-orang yang mempunyai identitas semacam yang dipunyai oleh orang-orang kreatif dengan sendirinya merupakan orang kreatif (Supriadi, 1994: 13).

Berpikir Kreatif

Kriteria ketiga merupakan produk kreatif, yang menunjuk kepada hasil perbuatan, kinerja, ataupun karya seorang dalam dalam wujud benda, ataupun gagasan. Kriteria ini ditatap selaku yang barrier eksplisit buat memastikan kreativitas seorang, sehingga diucap selaku” kriteria puncak” untuk kreativitas (Amabile, 1983). Dalam pembedahan penilaiannya, proses identifikasi kreativitas dicoba lewat analisis obyektif terhadap produk, pertimbangan subyektif oleh periset, ataupun periset pakar, serta lewat uji (Supriadi, 1994: 14). Dalam kehidupan manusia hasil/produk dari berpikir kreatif kerapkali menarik atensi khalayak sebab disebut sebagai suatu yang baru, inovatif, solutif serta bahkan terkadang konyol. Tetapi demikian, perihal ini mencerminkan dari serangkaian proses rumit yang pada kesimpulannya menciptakan suatu produk dari berfikir kreatif. Produk ini pada biasanya ialah suatu jawaban atas suatu kasus, ungkapan/ ekspresi seorang. Memang setiap manusia memiliki caranya sendiri-sendiri dalam memecahkan masalah secara kreatif.

Kefasihan (fluency), fleksibilitas (flexibility), kebaruan (novelty), dan elaborasi (elaboration) merupakan syarat mutlak komponen yang harus dipenuhi dalam rangka berpikir kreatif atau yang sering disebut sebagai berpikir divergen. Maka jika melihat komponen tersebut, hasil yang didapat dari berpikir kreatif ialah menemukan suatu inovasi atau hal baru sebagai produk dari berpikir kreatif. Faktor pemicu atau yang sering kita sebut sebagai stimulus agar kita mampu berpikir kreatif ialah adanya masalah. Masalah kita selesaikan dengan proses berpikir kreatif atau sering kita sebut sebagai problem solving

Memecahkan masalah dengan berpikir kreatif tentu memiliki beberapa prinsip yang harus diperhatikan. Dapat kita awali dengan melihat beberapa kemungkinan solusi yang ada dan mengumpulkannya menjadi satu sehingga secara kolektif kita mendapatkan banyak solusi yang nantinya kita seleksi satu per satu. Selain itu kita juga harus mencari informasi sedalam dan sebanyak mungkin yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang kita hadapi sehingga lebih mempermudah kita kaitannya dengan bijak memilih beberapa solusi yang dikumpulkan sebelumnya. Kita pun harus yakin dan sungguh-sungguh dalam menyelesaikan suatu permasalahan, tidak setengah-setengah apalagi lari dari permasalahan. Pastinya dalam berpikir kreatif kaitannya dengan memecahkan permasalahan kita tidak boleh terpaku dengan solusi-solusi lama hal ini dikarenakan jelas tidak akan tercipta inovasibaru hasil dari berpikir kreatif. Masalah yang kompleks perlu kita sederhanakan menjadi satu permasalahan inti yang kiranya dapat diselesaikan dengan sebuah solusi baru dan inovatif hasil dari berpikir kreatif, maka dari itu kita harus mampu menyeleksi mana permasalahan yang perlu didahulukan untuk diselesaikan, mana yang bisa kita uraikan atau gabungkan dan dapat diselesaikan bersama. Demikian beberapa prinsip yang harus kita perhatikan dan kita miliki saat melakukan problem solving atau memecahkan masalah dengan berpikir kreatif. 

 









Menuntaskan KONFLIK Serta Memelihara PERDAMAIAN

Menuntaskan KONFLIK Serta Memelihara PERDAMAIAN


        Perspektif penyelesaian konflik pada dasarnya merupakan resolusi konflik dan yang berkembang lebih besar ialah manajemen konflik. Manajemen konflik bisa dicoba lewat proses dinamisasi kelompok, bila prosedur penyelesaian konflik serta penjelasan akan konflik telah dipahami oleh seseorang, khususnya para pemimpin. Keahlian mengidentifikasi serta mengelola konflik pada jaman present semacam saat ini merupakan kebutuhan absolut, sebab penduduk semakin berkembang dengan nilai serta kepentingan yang saling bersaing satu sama lain. Di samping itu, kemajuan teknologi komunikasi serta data mengakibatkan informasi, pesan, gagasan bisa tumbuh secara cepat ke seluruh dunia.Bila yang disalurkan merupakan informasi yang positif pastinya tidak akan memunculkan permasalahan, tetapi bila pesan yang disebarluaskan berisi kebencian hingga pastinya akan dapat memperluas daerah konflik itu sendiri. Terlebih lagi pesan yang nampaknya netral, misalnya pesan yang bertabiat konsumerisme, bila diterima oleh kelompok yang mapan secara ekonomi pasti mengenai sasaran namun bila diterima pula oleh publik yang berada dalam himpitan kesusahan ekonomi sehingga akan potensi guna menciptakan konflik struktural yang ditransformasikan dari kesulitan ekonomi tersebut.

        Ketrampilan pemimpin dalam mengelola konflik bukan saja berguna untuk menuntaskan permasalahan, namun pula dalam rangka membawa transformasi melalui organisasinya yakni dengan menguatkan kehidupan masyarakat yang damai. Konflik kerap pula dipandang sebagai konsekuensi logis dari hakekat manusia yang mempunyai keahlian berpikir, menentukan opsi serta kepentingan. Konflik dengan demikian dapat menjadi mekanisme natural untuk manusia guna meningkatkan diri individu ataupun kebudayaan masyarakat. Sebab dengan adanya konflik, sehingga perbandingan cara pandang ataupun kepentingan menjadi jelas serta lahirlah pemahaman baru antar manusia. Apabila perbedaan- perbedaan itu dapat dimengerti serta diterima, sehingga lahirlah nilai serta budaya baru yang lebih lengkap untuk kepentingan publik dimana konflik itu berlangsung.

Konflik Sosial

        Pada sisi lain, konflik juga memiliki kemampuan untuk mengusik kebersamaan hidup manusia serta mengacaukan, bila tidak ditangani secara baik. Konflik dapat memunculkan akibat kurang baik, mulai dari tingkatan barrier ringan semacam timbulnya rasa tidak bahagia antar pribadi, sampai akibat barrier kurang baik berbentuk pertikaian terbuka yang memakan korban jiwa serta kehancuran. Guna menyelesaikannya, sehingga konflik wajib dihadapi serta tidak boleh dihindari. Penghindaran atas konflik tidak akan menuntaskan permasalahan, malahan akan menumpuk permasalahan jadi meningkat banyak bersamaan dengan waktu serta meledak pada waktu yang lain dengan kerugian yang lebih besar.

        Dalam penyelesaian konflik, terdapat bermacam style penyelesaian yang bisa digolongkan jadi 4 kelompok utama sebagaimana bagan di bawah ini:

Accommodating Styles

Dilakukan guna menangkan pihak lawan atau karna pihak lawan mengintimidasi.

Competing styles: win-drop

Hasil ditentukan oleh apa yang diperoleh, salah satu pihak terus menuntut supaya mendapatkan yang diinginkannya. Kedekatan antar para pihak tidak dipentingkan dalam kondisi ini.

Avoiding Styles

Salah satu pihak tidak mau terus ikut serta dalam permasalahan, berupaya alihkan permasalahan, ataupun menjauhi pembahasan permasalahan sama sekali.

Collaborating styles

Para pihak memandang hubungan di antara mereka lebih berarti dibanding permasalahan serta memilih bekerja sama dalam menuntaskan permasalahan mereka sehingga menciptakan cara bersama.

Negotiate

Kedua pihak berkompromi dengan mengurangi tuntutan serta perolehannya masing- masing.

        Berdasarkan cerminan di atas bisa dimengerti kalau penyelesaian konflik bisa dilakukan oleh para pihak yang berkonflik. Perbandingan di antara mereka dituntaskan oleh mereka sendiri. Pihak lain dibatasi keterlibatannya, sebab pihak-pihak di dalam konflik lebih memilih untuk memelihara ikatan yang sudah dibentuk bersama serta konflik menjadi tidak gampang untuk memutus ikatan yang sudah terjalin. Tetapi terdapat suasana dimana Pihak ketiga wajib turut menuntaskan konflik sebab dalam realitasnya, tidak seluruh pihak bisa menuntaskan konfliknya sendiri. Konflik yang sudah mengakar lama, meluas ke bermacam pihak, memunculkan kerugian besar serta memakan banyak korban akan memunculkan kompleksitas tertentu untuk dapat dituntaskan sendiri oleh pihak- pihak yang berkonflik. Para pihak telah diserap masuk dalam pusaran konflik serta tidak sanggup untuk berinteraksi secara baik satu dengan yang lain. Dalam kondisi semacam ini dibutuhkan kedatangan pihak ketiga yang menolong mencari jalur penyelesaiannya. Tidak hanya itu dibutuhkan pula sistem pendukung yang bisa melahirkan area yang kondusif untuk penyelesaian konflik.