Monday, November 23, 2020

Hak Itu Milik Siapa?



Hak Itu Milik Siapa?

Mengapa hak menjadi sangat penting dalam kehidupan manusia? Karena dengan adanya hak yang melekat pada diri manusia, maka menjadikan dirinya lebih bermakna, ia dapat menuntut pada pihak lain untuk memenuhi dan menghormati haknya itu. Dengan demikian hak adalah suatu klaim yang dapat dibenarkan. Hak merupakan klaim yang dibuat oleh orang atau kelompok yang satu terhadap yang lain atau terhadap masyarakat yang bisa dibenarkan. Jika ada klaim yang bisa dibenarkan, tentunya ada klaim yang tidak bisa dibenarkan. 

Berbicara tentang hak, mungkin orang akan bertanya tentang siapa sebenarnya yang bisa menjadi subjek hak? Atau apa yang dapat dilekati oleh hak tersebut? Untuk memperoleh jawabannya perlu beberapa ilustrasi yang terkait dengan permasalahan-permasalahan tentang subjek hak tersebut.

  • Permasalahan yang terkait dengan boleh tidaknya Abortus Provocatus yang menjadi perdebatan menarik di beberapa negara. Amerika Serikat contohnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh M.A. Warren (1989: 320-332) bahwa masalah abortus menjadi perdebatan yang menarik karena ada Pro Abortus dan Kontra Abortus. Dua kelompok ini memiliki alasannya masing-masing. Disatu sisi kelompok yang Pro Abortus berargumen bahwa wanita mempunyai hak kebebasan untuk menentukan keputusan yang terkait dengan tubuhnya sendiri. Abortus tergantung pada si wanita yang bersangkutan, jika dipandang oleh dirinya akan dapat membahayakan kesehatannya maka abortus harus dilakukan. Jadi abortus ataupun tidak tergantung pada putusan si wanita itu sendiri. Sedangkan bagi kelompok Kontra Abortus berargumen bahwa janin dalam kandungan si wanita mempunyai hak untuk hidup, oleh karena itu perbuatan abortus sama saja dengan pelanggaran terhadap hak hidup janin yang ada di perut sang ibu. Jika bahwa janin disebutkan memiliki hak, pertanyaannya yang muncul ialah sejak kapan (saat apa) ia memiliki hak? Sejak saat pembuahan atau pada saat dalam era perkembangan?
  • Kita tahu bahwa sumber daya alam yang ada harus digunakan dengan bijaksana dan melestarikannya sebaik mungkin sehingga alam tidak rusak oleh generasi kita demi generasi yang akan datang. Pernyataan tersebut terkait dengan masalah tanggung jawab moral atas lingkungan hidup. Dalam konteks ini sering dimunculkan suatu argumen bahwa generasi-generasi mendatang juga memiliki hak sehingga kita tidak boleh mengeksploitasi kekayaan bumi dengan merugikan generasi sesudah kita. Masalah ini menimbulkan pertanyaan, apakah orang yang belum lahir (generasi generasi sesudah kita) dapat memiliki hak? Bukankah suatu pandangan yang aneh memberi hak pada orang yang belum lahir?
  • Terkait dengan hak binatang, bahwa binatangpun memiliki hak yang harus dihormati. Para pendukung hak binatang berpendapat bahwa eksperimen-eksperimen terhadap binatang harus dilakukan sedemikian rupa sehingga hak-hak binatang tidak dilanggar. Terhadap hal ini maka percobaan-percobaan yang melibatkan binatang harus dibatasi baik dalam hal cara maupun dalam hal jumlahnya. Jika pendapat ini diakui sebagai suatu kebenaran, maka timbul pertanyaan: apakah tidak keterlaluan bilamana binatang dipandang memiliki hak, sehingga kedudukannya sejajar dengan manusia?

Ilustrasi di atas, ternyata menimbulkan pertanyaan kritis yang muaranya berisi keraguan atau penyangkalan dalam kaitannya dengan hak. Dengan demikian kita kembali pada pertanyaan awal bahwa hak itu sebenarnya milik siapa?     


Source: Suyahmo. 2020. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Magnum Pustaka Utama.

You can buy this book here

Saturday, January 11, 2020

Fenomena Etnisitas (Jawa vs Non Jawa)

No comments     
categories: 

 

Fenomena Etnisitas (Jawa vs Non Jawa)

Etnisitas adalah suatu penggolongan dasar dari suatu organisasi sosial yang keanggotaannya didasarkan pada kesamaan asal, sejarah, budaya, agama dan bahasa serta tetap mempertahankan identitas jati diri mereka melalui cara dan tradisi khas yang tetap terjaga, misalnya etnis Cina, etnis Arab, dan etnis Tamil-India. Istilah etnisitas juga dipakai sebagai sinonim dari kata suku pada suku-suku yang dianggap asli Indonesia. Misalnya etnis Bugis, etnis Minang, etnis Dairi-Pakpak, etnis Dani, etnis Sasak, dan etnis lainnya. Menurut Max Weber, Etnisitas adalah suatu kelompok manusia yang menghormati pandangan serta memegang kepercayaan bahwa asal yang sama menjadi alasan untuk penciptaan suatu komunitas tersendiri. Menurut Frederich Barth (1988) istilah etnisitas merujuk pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budaya.


Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak etnis. Banyaknya etnis inilah yang kita sebut sebagai suatu fenomena yang sifatnya kuantitatif. Namun permasalahan datang ketika etnosentrism itu muncul, atau dari kelompok etnis tertentu merasa paling superior di tengah masyarakat Indonesia yang seharusnya menjunjung tinggi nasionalisme. Jawa dan Non-Jawa misalnya. Sadar ataupun tidak sadar etnis Jawa selalu merasa paling/lebih dibandingkan dengan etnis yang lainnya. Hampir dalam segala aspek seperti ekonomi, politik dan apapun etnis Jawa seolah di nomor satukan. Padahal kita tahu apabila kita lihat secara logika berfikir kuantitatif antara etnis yang satu dengan yang lainnya itu sama. Sebuah pertanyaan besar sebenarnya sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nasionalisme namun etnosentrismenya juga tinggi. Ada apa dengan bangsa kita? Apakah ini gambaran besar dari wujud nasionalisme kita? Atau mungkin nasionalisme hanyalah kedok atau symbol belaka? Atau memang benar kata Bennedict Anderson tentang Nasionalisme hanyalah Imagined Communities?

Fenomena Etnisitas dalam Perspektif Integrasi Sosial

Jika kita berbicara tentang Integrasi Sosial maka kita juga tak bisa terhindar dari kalimat atau semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan penguat persatuan dan kesatuan bangsa kita. Untuk meningkatkan integrasi sosial setiap individu harus dapat mengendalikan perbedaan atau konflik yang terdapat pada suatu kekuatan bangsa dan bukan sebaliknya. Tiap warga masyarakat juga harus saling dapat mengisi kebutuhan antara satu dengan yang lainnya. Selain itu juga harus bersama-sama menciptakan kesepakatan norma-norma dan nilai-nilai sosial untuk menjadi pedoman hidup dalam bermasyarakat. Oleh karena itu sikap toleransi sangat dibutuhkan. Namun permasalahan intoleransi saat ini juga sedang melanda di tengah masyarakat kita, kaitannya dengan latar belakang masyarakat yang plural.

Fenomena Etnisitas Jawa vs Non Jawa

Tidak dapat dipungkiri bahwa suatu negara akan terjadi integrasi sosial yang bagus atau bahkan terjadi konflik antar etnis bergantung pada beberapa faktor dari luar, terutama negara itu sendiri. Kebijakan suatu negara akan menghasilkan sebuah integrasi ketika asimilasinya baik karena dipaksakan dalam bentuk inkorporasi ataupun sukarela. Sebaliknya kebijakan negara akan bisa menimbulkan disintegrasi ketika kebijakan tersebut menyebabkan differensiasi baik dalam bentuk divisi maupun proliferasi. Divisi terjadi jika satu kelompok etnis terbagi menjadi dua kelompok, sedangkan proliferasi jika satu kelompok atau lebih menghasilkan kelompok-kelompok baru di dalamnya.

 Fenomena yang ada sekarang ini adalah sikap etnosentris yang berlebihan sehingga justru menimbulkan sentiment etnis yang berkepanjangan. Kecemburuan sosial ini kerap hadir diantara etnis Jawa dan Non Jawa. Etnis Non Jawa terkadang beranggapan bahwa Etnis Jawa yang selalu mendapatkan prioritas dari segi apapun. Justru dari anggapan-anggapan inilah yang dapat memecah belah persatuan dan integritas bangsa itu sendiri di tengah perbedaan etnis yang ada. Padahal jika kita sadari ini hanya perkara kuantitas fenomena belaka. Seharusnya kualitas dari anggota etnis yang ada lebih dominan dibandingkan dengan fenomena yang ada agar terjadi keselarasan dan integrase sosial yang baik, tidak mementingkan kepentingan individu ataupun kelompok, tidak pula merasa paling benar dan superior diantara etnis-etnis yang ada. Jika kualitas nomena telah ditingkatkan dan lebih dominan dibandingkan dengan fenomena yang ada pasti tidak ada sikap demikian. Integrasi sosial akan terwujud dengan baik jika memiliki Sumber Daya Manusia yang berkualitas, itu kuncinya, sehingga apa yang dikatakan oleh Thomas Hobs, “Homo Homini Lupus” yang kuat akan selalu mendominasi dan memiliki naluri ingin selalu menguasai itu tidak dimiliki oleh bangsa Indonesia karena kita sadar akan adanya perbedaan.

Fenomena Etnisitas dalam Perspektif Nasionalisme

Nasionalisme adalah bersatunya bangsa secara politik dalam suatu wadah yang terdiri dari berbagai macam etnis. Seharusnya nasionalisme kita diartikan demikian. Nasionalisme harus seimbang antara nomena dan fenomena. Tidak ada Jawa tidak ada Non Jawa, semua memiliki hak dan kewajiban yang sama di dalam berbangsa dan bernegara tanpa terkecuali. Namun kembali lagi kepada teori Ernest Renan dan juga Hans Kohn, nasionalisme bisa tercapai jika ada keinginan dan kesadaran dari bangsa Indonesia itu sendiri. Bukan kuantitas dari bangsa kita yang harus dibenahi, namun kualitas dari nomena yang ada yang harus ditingkatkan.

Secara konseptual implikasi dari jiwa nasionalisme ini akan timbul jika masyarakatnya mampu melakukan hal-hal seperti, interaksi sosial antar etnis dengan rukun dan damai dengan mengesampingkan perbedaan, melakukan kerjasama dan gotong royong antar warga sebagai perekat persaudaraan, serta meningkatkan sikap toleransi. Jika semua itu dapat dilakukan dengan baik maka tak akan ada lagi sikap etnosentris atau sikap ingin menang sendiri karena semua sama.

Disamping itu kita juga harus mampu menjauhkan diri dari politik identitas, yang mana Politik identitas ini adalah politik yang bersandarkan pada symbol-simbol atau sesuatu yang menggejala atau fenomena, wujudnya bisa suku, ras, agama, ormas, parpol. Di sinilah kadang kepentingan individu disandarkan pada kepentingan kelompok yang nantinya akan memporak-porandakan nasionalisme dengan mengkambinghitamkan etnisitas.

Kesimpulan

Tak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan nasionalisme kita, tidak selamanya akan utuh. Seiring berjalannya waktu perselisihan kerap terjadi. Pengklasifikasian kelas ataupun kelompok masyarakat berdasarkan etnis mulai terlihat dari sikap masyarakat itu sendiri yang mulai intoleran terhadap orang lain yang memiliki latar belakang kesukuan, ras, agama ataupun etnis yang berbeda. Kecemburuan sosial atas perlakuan yang didapatkan khususnya antara Jawa dan Non Jawa   mengakibatkan sentiment etnis yang berlebihan yang jika dibiaran akan dapat menimbulkan konflik yang berkepanjangan.

Namun perlu disadari bahwa dalam segala hal khususnya dalam melakukan pelayanan public kita tidak boleh membedakan antara satu dengan yang lainnya, etnis A dan B, Suku A dan B, atau yang lainnya. Karena pemicu adanya konflik yang berlatar belakang perbedaan banyak diawali dari perilaku pengklasifikasian dalam masalah hak dan kewajiban. Memang benar dalam hal ini ada beberapa hal yang perlu diubah dari bangsa kita ini, yakni kualitas. Secara tidak langsung jika kualitas bangsa kita bagus atau dengan kata lain sumber daya manusia kita mampu bersaing dengan asing maka kepedulian kita terhadap nasionalisme akan lebih tinggi daripada hanya menjunjung kepentingan etnis tertentu saja. Ingat, Nasionalisme adalah bersatunya bangsa secara politik dalam suatu wadah yang terdiri dari berbagai macam etnis. Selain itu, Nasionalisme harus seimbang antara nomena dan fenomena.

 

DAFTAR PUSTAKA

Koresy. 2013. Kekerasan dan Diskriminasi Antar Umat Beragama di Indonesia. Lex Administratum. Vol.1 No.2.

Najwan, Johny. 2009. Konflik Antar Budaya dan Antar Etnik. Jurnal Hukum Edisi Khusus Vol.16.

Prayudi. 2004. “Akar Masalah Penyebab Konflik Etnis Dan Alternatif Penyelesaiannya”. Jurnal Ketahanan Nasional vol ix no 3. 39-56. 

https://www.ayocirebon.com/read/2019/10/04/3476/sejumlah-konflik-sara-di-indonesia-selain-wamena