Fenomena Etnisitas (Jawa vs Non Jawa)
Etnisitas
adalah suatu penggolongan dasar dari suatu organisasi sosial yang
keanggotaannya didasarkan pada kesamaan asal, sejarah, budaya, agama dan bahasa
serta tetap mempertahankan identitas jati diri mereka melalui cara dan tradisi
khas yang tetap terjaga, misalnya etnis Cina, etnis Arab, dan etnis
Tamil-India. Istilah etnisitas juga dipakai sebagai sinonim dari kata suku pada
suku-suku yang dianggap asli Indonesia. Misalnya etnis Bugis, etnis Minang, etnis
Dairi-Pakpak, etnis Dani, etnis Sasak, dan etnis lainnya. Menurut Max Weber,
Etnisitas adalah suatu kelompok manusia yang menghormati pandangan serta
memegang kepercayaan bahwa asal yang sama menjadi alasan untuk penciptaan suatu
komunitas tersendiri. Menurut Frederich Barth (1988) istilah etnisitas merujuk
pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa,
ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budaya.
Indonesia
merupakan negara yang memiliki banyak etnis. Banyaknya etnis inilah yang kita
sebut sebagai suatu fenomena yang sifatnya kuantitatif. Namun permasalahan
datang ketika etnosentrism itu muncul, atau dari kelompok etnis tertentu merasa
paling superior di tengah masyarakat Indonesia yang seharusnya menjunjung
tinggi nasionalisme. Jawa dan Non-Jawa misalnya. Sadar ataupun tidak sadar
etnis Jawa selalu merasa paling/lebih dibandingkan dengan etnis yang lainnya. Hampir
dalam segala aspek seperti ekonomi, politik dan apapun etnis Jawa seolah di nomor
satukan. Padahal kita tahu apabila kita lihat secara logika berfikir
kuantitatif antara etnis yang satu dengan yang lainnya itu sama. Sebuah
pertanyaan besar sebenarnya sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nasionalisme
namun etnosentrismenya juga tinggi. Ada apa dengan bangsa kita? Apakah ini
gambaran besar dari wujud nasionalisme kita? Atau mungkin nasionalisme hanyalah
kedok atau symbol belaka? Atau memang benar kata Bennedict Anderson tentang
Nasionalisme hanyalah Imagined Communities?
Fenomena Etnisitas dalam Perspektif Integrasi
Sosial
Jika
kita berbicara tentang Integrasi Sosial maka kita juga tak bisa terhindar dari
kalimat atau semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan penguat persatuan
dan kesatuan bangsa kita. Untuk meningkatkan integrasi sosial
setiap individu harus dapat mengendalikan perbedaan atau konflik yang terdapat
pada suatu kekuatan bangsa dan bukan sebaliknya. Tiap warga masyarakat juga
harus saling dapat mengisi kebutuhan antara satu dengan yang lainnya. Selain
itu juga harus bersama-sama menciptakan kesepakatan norma-norma dan nilai-nilai
sosial untuk menjadi pedoman hidup dalam bermasyarakat. Oleh karena itu sikap
toleransi sangat dibutuhkan. Namun permasalahan intoleransi saat ini juga
sedang melanda di tengah masyarakat kita, kaitannya dengan latar belakang
masyarakat yang plural.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa suatu negara akan terjadi integrasi sosial yang bagus
atau bahkan terjadi konflik antar etnis bergantung pada beberapa faktor dari
luar, terutama negara itu sendiri. Kebijakan suatu negara akan menghasilkan
sebuah integrasi ketika asimilasinya baik karena dipaksakan dalam bentuk
inkorporasi ataupun sukarela. Sebaliknya kebijakan negara akan bisa menimbulkan
disintegrasi ketika kebijakan tersebut menyebabkan differensiasi baik dalam
bentuk divisi maupun proliferasi. Divisi terjadi jika satu kelompok etnis terbagi
menjadi dua kelompok, sedangkan proliferasi jika satu kelompok atau lebih
menghasilkan kelompok-kelompok baru di dalamnya.
Fenomena yang ada sekarang ini adalah sikap
etnosentris yang berlebihan sehingga justru menimbulkan sentiment etnis yang
berkepanjangan. Kecemburuan sosial ini kerap hadir diantara etnis Jawa dan Non
Jawa. Etnis Non Jawa terkadang beranggapan bahwa Etnis Jawa yang selalu
mendapatkan prioritas dari segi apapun. Justru dari anggapan-anggapan inilah
yang dapat memecah belah persatuan dan integritas bangsa itu sendiri di tengah
perbedaan etnis yang ada. Padahal jika kita sadari ini hanya perkara kuantitas
fenomena belaka. Seharusnya kualitas dari anggota etnis yang ada lebih dominan
dibandingkan dengan fenomena yang ada agar terjadi keselarasan dan integrase
sosial yang baik, tidak mementingkan kepentingan individu ataupun kelompok,
tidak pula merasa paling benar dan superior diantara etnis-etnis yang ada. Jika
kualitas nomena telah ditingkatkan dan lebih dominan dibandingkan dengan
fenomena yang ada pasti tidak ada sikap demikian. Integrasi sosial akan
terwujud dengan baik jika memiliki Sumber Daya Manusia yang berkualitas, itu
kuncinya, sehingga apa yang dikatakan oleh Thomas Hobs, “Homo Homini Lupus”
yang kuat akan selalu mendominasi dan memiliki naluri ingin selalu menguasai
itu tidak dimiliki oleh bangsa Indonesia karena kita sadar akan adanya
perbedaan.
Fenomena Etnisitas dalam Perspektif Nasionalisme
Nasionalisme
adalah bersatunya bangsa secara politik dalam suatu wadah yang terdiri dari
berbagai macam etnis. Seharusnya nasionalisme kita diartikan demikian. Nasionalisme
harus seimbang antara nomena dan fenomena. Tidak ada Jawa tidak ada Non Jawa,
semua memiliki hak dan kewajiban yang sama di dalam berbangsa dan bernegara
tanpa terkecuali. Namun kembali lagi kepada teori Ernest
Renan dan juga Hans Kohn, nasionalisme bisa tercapai jika ada keinginan dan
kesadaran dari bangsa Indonesia itu sendiri. Bukan kuantitas dari bangsa kita
yang harus dibenahi, namun kualitas dari nomena yang ada yang harus
ditingkatkan.
Secara
konseptual implikasi dari jiwa nasionalisme ini akan timbul jika masyarakatnya
mampu melakukan hal-hal seperti, interaksi sosial antar etnis dengan rukun dan
damai dengan mengesampingkan perbedaan, melakukan kerjasama dan gotong royong
antar warga sebagai perekat persaudaraan, serta meningkatkan sikap toleransi. Jika
semua itu dapat dilakukan dengan baik maka tak akan ada lagi sikap etnosentris
atau sikap ingin menang sendiri karena semua sama.
Disamping
itu kita juga harus mampu menjauhkan diri dari politik identitas, yang mana Politik
identitas ini adalah politik yang bersandarkan pada symbol-simbol atau sesuatu
yang menggejala atau fenomena, wujudnya bisa suku, ras, agama, ormas, parpol.
Di sinilah kadang kepentingan individu disandarkan pada kepentingan kelompok
yang nantinya akan memporak-porandakan nasionalisme dengan mengkambinghitamkan
etnisitas.
Kesimpulan
Tak
ada gading yang tak retak, begitu pula dengan nasionalisme kita, tidak
selamanya akan utuh. Seiring berjalannya waktu perselisihan kerap terjadi.
Pengklasifikasian kelas ataupun kelompok masyarakat berdasarkan etnis mulai
terlihat dari sikap masyarakat itu sendiri yang mulai intoleran terhadap orang
lain yang memiliki latar belakang kesukuan, ras, agama ataupun etnis yang
berbeda. Kecemburuan sosial atas perlakuan yang didapatkan khususnya antara
Jawa dan Non Jawa mengakibatkan
sentiment etnis yang berlebihan yang jika dibiaran akan dapat menimbulkan
konflik yang berkepanjangan.
Namun
perlu disadari bahwa dalam segala hal khususnya dalam melakukan pelayanan
public kita tidak boleh membedakan antara satu dengan yang lainnya, etnis A dan
B, Suku A dan B, atau yang lainnya. Karena pemicu adanya konflik yang berlatar
belakang perbedaan banyak diawali dari perilaku pengklasifikasian dalam masalah
hak dan kewajiban. Memang benar dalam hal ini ada beberapa hal yang perlu
diubah dari bangsa kita ini, yakni kualitas. Secara tidak langsung jika
kualitas bangsa kita bagus atau dengan kata lain sumber daya manusia kita mampu
bersaing dengan asing maka kepedulian kita terhadap nasionalisme akan lebih
tinggi daripada hanya menjunjung kepentingan etnis tertentu saja. Ingat, Nasionalisme
adalah bersatunya bangsa secara politik dalam suatu wadah yang terdiri dari
berbagai macam etnis. Selain itu, Nasionalisme harus seimbang antara nomena dan
fenomena.
DAFTAR
PUSTAKA
Koresy.
2013. Kekerasan dan Diskriminasi Antar Umat Beragama di Indonesia. Lex Administratum. Vol.1 No.2.
Najwan,
Johny. 2009. Konflik Antar Budaya dan Antar Etnik. Jurnal Hukum Edisi Khusus Vol.16.
Prayudi.
2004. “Akar Masalah Penyebab Konflik Etnis Dan Alternatif Penyelesaiannya”. Jurnal Ketahanan Nasional vol ix no 3.
39-56.
https://www.ayocirebon.com/read/2019/10/04/3476/sejumlah-konflik-sara-di-indonesia-selain-wamena